Zara menatap terkejut benda di tangannya yang ia beli tadi, tespack. Iya, tadi dia pergi untuk ke apotek dan membeli sesuatu. Zara hanya berniat untuk mengecek saja, tapi mengapa malah jadi seperti ini?
"Ga mungkin, aku h-hamil?" ucapnya gemetar dan menutup mulutnya terisak pilu.
Iya, setelah mengecek tadi. Hasilnya positif, ia syok, bagaimana nasibnya nanti? Apa ia harus beritahu Gentala tentang ini atau tidak memberitahunya dan pergi dari sini?
Tapi ia akan pergi kemana, tidak ada lagi tempat untuk menampung dirinya selain rumah ini. Rumah sederhana, luas, tapi tidak bertingkat.
"A-aku kayaknya harus kasih tau Gentala, kalaupun nanti ga mau tanggung jawab. Aku harus menjaga anak ini sendiri." ucapnya pelan.
Zara beranjak menaruh benda itu di laci nakas, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur. Kemudian memejamkan mata menunggu besok, apa yang akan terjadi.
"Semoga dengan kehadiran anak ini, hidup aku menjadi lebih berwarna." Gumamnya sebelum menyelam ke alam mimpi.
• • •
Gentala menatap jijik makanan di hadapannya, membuat teman-temannya heran.
"Kenapa lo?" tanya Farel, menatap Gentala aneh.
"Gatau, tu makanan bikin gue mual." ucapnya menahan mual yang menyerangnya tiba-tiba.
"Apaan dah lo, biasa pesen itu juga." Tukas Bintang heran.
"Gatau ah anjing! mending ayo ke kelas. Mual gue." Kata lelaki itu, melangkah pergi, dia akan ke kelasnya.
Bara menggelengkan kepalanya, melihat Gentala yang terlihat berbeda hari ini.
Bara adalah teman Gentala, saat di club dia memang tidak ada. Karena ada urusan waktu itu, jadi dirinya tidak datang.
Mereka kemudian menyusul Gentala, lalu berhenti, tatkala melihat gentala yang sedang di tahan oleh Zara. Ada apa dengan gadis itu? baru kali ini, Farel, Bintang, dan Bara, melihat Zara beranih berhadapan langsung dengan Gentala.
"Ngapain lo?" tanya Gentala ketus, menatap Zara malas.
"A- aku mau ngomong sama kamu genta." Ucap zara gugup.
"Ngomong tinggal ngomong." Balas Gentala, masih ketus.
"Nggak di sini, aku m-mau bicara berdua sama kamu."
"Ribet amat si lo."
Zara melangkah pergi, di ikuti oleh Gentala, yang terlihat ogah-ogahan, kemudian tak lama, Zara berhenti di taman belakang sekolah. Dan membalikkan badannya menatap Gentala, yang sekarang menghela napas kasar.
"Apa?" tanya Gentala malas.
"A-aku mau ngasih i-ini." ucap Zara gugup, memberikan benda yang ia sembunyikan di dalam genggamannya tadi.
Gentala menatap terkejut benda yang ada di tangan Zara, sadar dengan keadaan, tak lama ia langsung merubah mimik wajahnya. Menatap benda itu datar, lalu mengambilnya, dari tangan Zara.
"Lo hamil?" tanya Gentala sambil tertawa sumbang.
"I-iya, kamu yang bikin aku kaya gini. Kenapa Genta? sekarang aku gak punya siapa-siapa lagi." jawab Zara menahan isakannya.
"Lo yakin ini anak gue? siapa tau kan abis tidur sama gue lo tidur sama yang lain." Ucap Gentala tersenyum miring.
Zara mendongak, menatap Gentala terkejut. "Aku ngelakuin itu satu kali Genta, itu pun di paksa sama kamu. Bahkan aku ga pernah ke tempat club-club itu."
Gentala diam menatap Zara intens, kemudian ia memajukan tubuhnya, menipiskan jarak dengan tubuh gadis itu.
"Terus lo mau minta tanggung jawab?"
"A-aku ..."
"Ga mungkin itu anak gue, pasti lo boong, kalo lo tidur sama yang lain."
"Ini anak kamu Genta, terserah kamu mau tanggung jawab atau enggak. Aku gak peduli, dan makasih, udah bikin hidup aku hancur." ucap Zara dengan mata berkaca-kaca, ia tidak menangis.
Zara tidak pernah menangis di depan semua orang, tapi saat Gentala merebut kesuciannya, ia menangis tersedu-sedu waktu itu.
"Aku pergi Genta. Jangan pernah temui aku sama anak aku, kalau kamu berubah pikiran nanti. Aku juga gak tau kenapa kamu jahat kaya gini." Lanjut Zara lirih.
Gadis itu melangkah pergi, meninggalkan Gentala yang terkejut, sambil menatap kosong tempat Zara berdiri tadi.
Zara berjalan menuju kelasnya dan mengambil tasnya, ia akan pulang. Untuk sekolahnya, ia akan melanjutkannya, karena seminggu lagi acara lulusan.
"Mau kemana Ra?" tanya Anna, teman dekatnya.
"Iya, lo mau bolos ra?" timpal Dhea, dia juga teman dekatnya.
Zara hanya memiliki dua teman. Tapi ia belum memberi tahu soal apa yang ia alami sekarang.
"Aku mau pulang, kepalaku pusing. Nanti izinin aku ya." Ucap Zara sambil tersenyum.
"Lo sakit ra? anjir muka lo juga pucet!" heboh Dhea menatap wajah Zara terkejut, dia meraba-raba pipi Zara, terasa hangat.
"Ya udah kamu pulang aja Ra, nanti aku izinin. Kalo ada apa-apa telpon kita ya ra. Takutnya, kamu kenapa-napa." ujar Anna, sambil mengusap lengan Zara, yang terbalut seragam sekolah.
"Iya ... " balas Zara pelan, dan melangkah pergi keluar dari kelasnya.
Zara akan kerumah sakit terlebih dahulu untuk mengecek kandungannya, baru ia akan pulang dan mengistirahatkan tubuhnya yang sudah lelah.
-----
Zara tersenyum menatap layar monitor yang menampilkan anaknya, kemudian tatapannya beralih pada dokter kandungan yang ada di depannya.
"Usia kandungan kamu baru seminggu Zara, seminggu lagi udah sebulan. Jadi tolong jaga kesehatannya ya, kamu masih muda soalnya. Takutnya nanti terjadi apa-apa." Ucap dokter itu, dan tersenyum prihatin.
"Iya, dokter." Balas Zara tersenyum, lalu menurunkan tubuhnya dari bankar.
"Ini vitaminnya, di minum ya. Jangan ga di minum Zara, kamu harus jaga tubuhmu biar vit." Ujar Dokter itu lagi, sambil memberikan beberapa obat dan vitamin.
"Siap." Ucap Zara terkekeh, di ikuti kekehan juga dari dokter yang ia tahu bernama Ivy itu.
Zara melangkah keluar dan berjalan untuk pulang, ia harus makan karena dari tadi perutnya terus berbunyi.
Ia berhenti di depan gerobak bakso, kebetulan dekat dengan rumah sakit. Jadi ia tak perlu mencari, yang mana malah membuat tubuhnya lelah. Sebenarnya di rumah ada motor ayahnya, tapi Zara tadi pagi ingin menaiki angkutan umum. Jadi ia tak membawa motor peninggalan ayahnya itu.
"Mang, baksonya ada?" tanya Zara pada abang-abang tukang bakso.
"Ada neng, mau beli?"
"Ngga mang, mau nyapa doang." Ucap Zara tertawa pelan.
"Aduh, sambil beli atuh neng." Kata abang bakso setelah tertawa, mengikuti Zara tadi.
"Iya mang, satu ya. Di bungkus aja." ucap Zara tersenyum.
Zara mengambil bakso yang sudah di bungkus dan membayarnya, kemudian ia berjalan menuju rumahnya. Tidak jauh sebenarnya hanya sedang saja, itung-itung olahraga.
July 22, 2021
Revisi; October 14, 2021
Note; Sebenernya perumahan Zara itu agak elite ya, sebelum masuk ke gang perumahannya, ada jalan raya, rumah sakit itu hanya beberapa meter deket banget sama minimarket.
Dan di depan minimarket itu ada apotek, jadi sekarang, kalian tau kan kenapa semua tempat kejadian itu, selalu deket sama rumah Zara?
Iya, itu, karena emang deket.
See you! <3