🌠
Riska menduduki kursinya dan mulai menyalakan komputer. Terbiasa dengan situasi yang tenang di gudang hingga tak menyadari bahwa Sitha sudah duduk di depan mejanya, menopang dagu dengan kedua tangan mengamatinya seksama.
Riska terhenyak, ia memundurkan kursinya.
"Sialan lu ngagetin gue ajah."
"Eh, lu ada hubungan apa sama pak Fathir?" tanya Sitha tanpa basa-basi lagi.
"Hubungan apaan?"
"Halah, kemarin di rumah sakit Aryo sama yang lain udah cerita semua."
"Cerita apaan? Aryo siapa?"
Riska tak terlalu menyukai obrolan semacam ini.
"Hem. Lu yah masih maen sembunyi-sembunyi ke gue. Lu pasti ada hubungan sama pak Fathir. Ngaku ajah napa sih."
"Nggak penting." pungkas Riska beralih ke layar monitornya. Ia sama sekali tak ingin masalah ini diketahui rekan kerjanya meskipun Sitha sudah ia anggap sahabat dekat. Terlalu rawan pikirnya.
"Gue inget lu bisa lolos balik lagi abis dipecat. Gue jadi yakin sekarang kalo lu ada main ye kan?"
"Sembarangan ajah lu kalo ngomong." Riska tetap tak beralih dari layar di depannya. Memikirkan bagaimana mengusir Sitha secara halus dan mencari ide alasan cutinya yang mendadak. Riska tak ingin hal sekecil apapun yang di lontarkan mulut licin Sitha—yang sayangnya sering kepleset, memicu kegemparan di perusahaan.
"Gak usah ngeles lu. Aryo, Bagas, Sisil udah cerita kalo lu pernah nginep di hotel sama pak Fathir kan?"
Riska mendongak dan memukulnya dengan map kosong. "Eh, lu kalo ngomong ati-ati ya! Sialan mereka maunya apa sih."
"Oh jadi bener nih." Sitha senyum-senyum belum tampak keinginan untuk mundur dari raut mukanya.
"Sith. Lu bisa diem nggak sih."
"Gue bakal diem, kalo lu jujur sama gue."
"Gue udah jujur, gue nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Lagian kenapa lu bisa kenal sama temen-temennya si Japa?"
"HA? Si Japa? Sapa tuh? E. Cie udah punya panggilan sayang nih."
Sitha tersenyum diikuti kedua mata yang melebar lambat laun senyumannya jadi ikut melebar hingga tawa yang kemudian terdengar memecah.
"Ssst! Lu berisik tau!" Riska bangkit dan membekap mulut yang tak tahu diri itu.
Sitha memundurkan kursi memberi tempat agar Riska menyanggah sebagian pantatnya di meja. "Eh jadi beneran lu jadian? Bakal kiamat nih."
"Tuh mulut jangan lebar-lebar napa."
"Ris, ceritain dong kok elu bisa nyantol sama bos kayak gitu? Lu jadi selingkuhan ya? Gue saranin nih ya, mending lu mundur ajah. Lu tau kan keluarga Anggawarsito pasti punya standar tinggi, apalagi pak Fathir satu-satunya cucu penerus yang—"
"Gue udah tau!" Riska meraih kedua pipi Sitha dengan satu tangan, memaksa menghentikan ocehannya.
"Lah? Terus, lu mau lanjut?"
"Nggak usah dibahas. Lu kalo nggak ada yang penting, mending keluar sekarang. Gue lagi sibuk." tunjuk Riska ke arah pintu.
"Ah lu, gitu amat sama gue. Yaudah kalo nggak mau cerita. Sekarang bantuin gue."
"Apa?"
"Gue nginep kos lu ya ntar malem? Gue lagi marahan sama nyokap."
"Inget umur tuh, masih kayak bocah sekolah ajah main kabur-kaburan."
"Yah, please?" Sitha menggoyang-goyang lengannya.
"Iyah, tapi agak maleman ya ke kosan. Gue mau keluar."
Riska ingat nanti malam dia ada janji main bersama Mahesa. Semoga saja Sitha tak bisa menebaknya kalau tidak, bisa-bisa dia ngoceh semalaman mengalahkan rekor uwanya.
"Eh. Mau kemana lu?" tanya Sitha begitu Riska melewatinya menuju pintu keluar.
"Mau ngurus ijin cuti ke bu Dwi."
"Ha? Tumben-tumbenan lu."
Sitha kini mengikutinya dari belakang.
"Yah. gue lagi butuh liburan," sahutnya singkat.
Setelah menyelesaikan perihal cuti dan Fathir yang tidak masuk kerja hari itu membuatnya sedikit bisa bernapas lega setidaknya dia tak harus bertatap muka dengan pria itu. Entah mengapa Riska masih kesal.
🌙........
Karina sudah menjemputnya di pintu gerbang begitu ia keluar dari kamarnya.
"Siapa aja ntar yang main?"
"Sama kayak pas di Ocean40 Ris."
"Yakin lu nggak bakal ada grebekan lagi?" tanya Riska menyangsikan. Ia tak mau kalau harus kucing-kucingan lagi dengan polisi.
"Tenang aja. Ini kan di gudang ntar ada yang jagain di luar. Kalo ada apa-apa udah ada orang dalem yang bawa kalian kabur ntar."
"Gimana sih, lari-larian lagi? Gue sebenernya ogah. Tumben bang Esa main ke tempat begituan."
"Dia nggak main Ris." Karina merendahkan suaranya. "Dia cuma pengen liatin lu main sama anak buahnya."
"Sial!" Riska menghentikan langkahnya.
"Eh, jangan marah dulu. Dia katanya punya berita bagus buat lu."
"Oi Mbak Riska mau kemana?" teriak Edwin dari arah warung.
Dan sebelum Riska sempat menjawab, bahunya sudah di senggol Karina. Mengisyaratkan agar ia tak buka mulut.
"Ke pasar malem Win," balas Riska sembari tersenyum simpul.
Dia ingin segera menyelesaikan masalahnya dan menghabiskan waktu bersama engkong, mungkin lega rasanya ketika ada sebuah keluarga hangat yang menanti kepulangannya. Ah, Riska jadi tak sabar menikah.
"Hu!"
Riska tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Sial kenapa juga harus bawa-bawa pernikahan, gumamnya.
"Ada apa Ris?"
"Nggak pa-pa yuk lanjut."
Di sebelah bekas pabrik tahu ada sebuah bangunan kosong yang terbengkalai, di sanalah Riska akan menyetor uang sekaligus menerima berita bagus yang ditawarkan Esa. Membalut transaksi mereka dalam bentuk permainan satu lawan satu. Sementara Esa mengawasi anak buahnya sembari duduk menopangkan kedua kakinya di kursi kosong.
"Ah. Tuan putri sudah datang." sambut Esa begitu melihat Riska yang melangkah masuk bersama Karina.
"Apa berita bagusnya?" tanya Riska ke pokok tujuannya.
"Hahahah…nggak sabaran banget ya?" Esa membuang putung rokoknya dan beranjak mendekat ke arah Riska. "Lu main dulu sama mereka. Menangin satu ronde, dan setengah dari berita bagusnya bakal lu denger. Menangin dua ronde dan berita bagusnya lu denger semua. Hahahaha." tawanya membahana.
Riska mundur mengeluarkan tas tangan hitamnya dari balik jaket, ia menjatuhkan sebagian uang berbendel ke meja di sampingnya.
"Gue main sebagian dulu. Kalo berita bagus yang setengah gue denger itu cuma akal-akalan gue balik," tawar Riska. Dia tidak ingin termakan umpan kali ini, meski Esa adalah jalan satu-satunya menuju Jamal, tapi ia tidak ingin terlihat lemah dan justru dimanfaatkan.
"Oke, tuan putri. Sekarang lu main sama yang botak sebagian tuh," tunjuk Esa pada seorang lelaki tinggi besar yang sedang memainkan kartunya di meja.
Karina menarik sebuah kursi untuk Riska di depan si botak. Kali ini ia harus menang, batinnya. Dia sudah mempertaruhkan hampir seluruh prinsipnya. Uang yang ia dapat dari Fathir tak ingin ia sia-siakan, setidaknya sampai mendapat kabar bagus itu.
Riska langsung memenangkan permainan di ronde pertama, ia melirik sekilas ke arah Esa yang berdiri melipat tangan di depan dada. Sorot matanya memicing antara ketidak percayaan atau takdir yang tak mau ia terima tepat saat ronde berikutnya dimenangkan Riska.
Esa menunjuk beberapa orang untuk berdiri dari meja judi. Salah satu di antaranya mendekat ke arah Riska. "Lu nggak bisa bawa semua hasil taruhannya," desisnya.
Riska bangkit karena tidak terima, ia sudah menduga akan terjadi hal seperti ini.
"Tenang," cegah Esa begitu Riska menghampirinya. "Buat permulaan lu nggak bisa bawa apa-apa, sebagai gantinya gue mau ngasih tau lu sesuatu."
"Tadi perjanjiannya nggak gini!" teriak Riska.
Sontak semua orang di sana berdiri dan mendelik ke arahnya.
Tiba-tiba seseorang dari arah pintu berlari menyongsong. Seorang pria kurus kering berbisik di telinga Esa.
Riska menebak ini pasti grebekan lagi, tak ingin menyianyiakan kesempatan Riska menghadang langkah Esa yang sepertinya akan beranjak keluar.
"Tunggu, lu nggak bisa pergi gitu ajah. Gue pengen tau kabar bagus apa itu. Atau kita semua ketangkep di sini!" gertak Riska.
Sayangnya tak ada yang menggubris karena beberapa dari mereka sudah berpencar keluar.
"Kabar bagusnya cuma setengah. Lu bisa nyari petunjuk soal mbah di kampung manggis. Atau lu mau tunggu kabar selanjutnya yang lebih pasti? sementara ini lu siapin duit yang banyak dulu. Hahahah."
Dan Esa pun berjalan keluar dengan santai. Yah karena ada orang-orang yang jadi tamengnya tentu saja ia tak cemas.
Riska buru-buru keluar karena mendapati Karina yang lebih dulu menghilang. "Sialan Karina!"
Di tengah usahanya keluar dari bangunan yang harus melewati semak seukuran manusia, langkahnya tiba-tiba terhenti. 3 orang laki-laki yang salah satunya bernama Dimas sudah berdiri di depannya dengan tampang beringas.
Yuk Tekan 🌟 buat lanjutannya besok😉