27. Relieve

253 57 1
                                    

Yumi tidak akan pernah lupa sebesar apa peran Juanka dalam kehidupannya. Saat takdir seolah sedang mempermainankan Yumi dengan segala kejutan-kejutan yang mengguncang kestabilan hidupnya, Juanka hadir sebagai penopang. Sebut saja saat Juanka menjadi sahabat yang paling setia menemani Yumi di masa-masa kritis sang ayah. Belum lagi peran Juanka yang setia mendengarkan semua curhat-an Yumi tentang teman-teman barunya yang menyebalkan. Plus, menjadi orang yang paling mendukung saat Yumi kehilangan dukungan keluarga besarnya.

Untuk itu, adalah wajar, jika Yumi tidak ingin semua sikap pahlawan Juanka berbalas kekesalan seperti yang dihadiahkan Yumi sekarang ini.

"Hai," sapa Juanka setengah kaget, saat mendapati Yumi berdiri di depan pintu rumahnya.

Ya, Yumi memutuskan untuk mundur selangkah demi maju dua langkah. Yumi akan meminta maaf pada Juanka, dan mengembalikan hubungan baik mereka. Bersitegang dengan Juanka adalah hal terakhir yang Yumi inginkan di dunia ini.

"Kok nggak bilang mau dateng? Tahu gitu kan aku siapin camilan kesukaan kamu dulu," sambung Juanka sambil mengayunkan pintu semakin lebar, mempersilakan Yumi masuk.

"Beneran mau siapin camilan kesukaan aku? Pesen lewat gojek gih. Pengin minum bubble tea nih," modus Yumi, seperti Yumi yang sedia kala. Sikap yang begitu menggemaskan dan membuat Juanka tidak kuasa untuk menahan tangannya mendarat di pucuk kepala Yumi, dan mengacaknya gemas.

"Kita sekalian keluar aja, gimana?" ajak Juanka. "Tapi aku ganti baju dulu, sebentar."

Yumi menangguk. "Oke."

Tidak lebih dari satu jam kemudian, Yumi dan Juanka sudah duduk manis pada salah satu meja di gerai bubble tea favorit Yumi. Sambil menyeruput minuman segar itu, Yumi mulai melancarkan niat baiknya, "Aku minta maaf ya, Ju."

"Eit!" Juanka mengangkat jari telunjuknya, "Biar aku dulu." Juanka mengambil jeda untuk memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih nyaman, lalu manambahkan, "Dara udah cerita semua. Aku yang harusnya minta maaf, Yu. Aku udah kasar banget sama kamu." Juanka tertawa hambar. "Aku nyesel banget atas kejadian semalam. Aku benar-benar nggak bisa bayangin gimana kalau kepalan tanganku bener-bener melukai kamu ... aku pasti nggak akan bisa maafin diriku sendiri."

Yumi menyentuh telapak tangan Juanka yang teronggok di atas meja, "Harusnya aku paham kalau aku terlalu asik dengan duniaku sendiri, dan terlalu banyak mengabaikan kalian. Sahabat kan nggak seharusnya begitu. Maaf ya ...."

Juanka tersenyum lega, "Aku sendiri sebenarnya bingung apa aku juga udah bersikap seperti sahabat yang baik atau belum buat kamu. Aku pengin kamu ada di dekatku terus, tapi aku seharusnya juga nggak mau menghalangi semua mimpi-mimpimu." Juanka menghela napas berat, "Aku sampai kebingungan cara memperbaiki situasi ini. Kamu nggak tahu gimana perasaanku ngeliat kamu beneran datang untuk berdamai. Feels like heaven, Yu. Thank you."

**

"Gimana perasaaan kamu? Udah baikan?"

Yumi tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya semangat.

Inilah yang Yumi senangi dari sosok Odwin. Odwin bisa menjadi sosok yang sangat serius saat mengerjakan soal-soal pelajaran, tetapi juga bisa sangat santai dan asik saat mendengarkan segala keluh kesah Yumi. Seperti semalam contohnya. Odwin sendiri yang mengusulkan agar Yumi menemui Juanka dan mengibarkan bendera perdamaian.

"Ngeliat kamu senyum gini perasaanku jadi lebih tenang," senyum Odwin lega.

"Jangan bilang kamu sengaja datang ke sini malem-malem gini cuma buat ngeliat aku tersenyum!" goda Yumi.

Yumi sebenarnya tidak menyangka kalau kepulangannya dari berjalan-jalan dengan Juanka akan disambut oleh Odwin di gerbang rumahnya sendiri. Padahal saat mengusulkan untuk berdamai dengan Juanka semalam, Odwin tampak sedikit jutek. Yumi sempat curiga kalau Odwin sebenarnya tidak tulus saat memberi masukan itu. Siapa sangka Odwin justru menampakkan batang hidungnya malam ini, sebagai bukti kalau dia ternyata benar-benar mendukung Yumi.

Odwin mengendikkan bahunya, "Sebenarnya aku sendiri bingung kenapa aku harus repot-repot datang ke sini. Tapi rasanya nggak tenang aja kalau berdiam diri di rumah." Odwin mengenyakkan punggungnya di kursi rotan di teras rumah Yumi.

"Nggak tenang?" susul Yumi, mengambil tempat persis di sebelah kanan Odwin.

"Iya, aku ketakutan."

Alis Yumi sontak bertaut, "Ketakutan?" Odwin sama sekali tidak terlihat seperti sosok penakut selama ini. "Takut apa?"

Odwin memberi jeda dengan mengamati tingkah kebingungan Yumi, lantas bersuara, "Takut kalau yang dibilang orang-orang itu ada benernya, tentang persahabatan antara cewek dan cowok yang pasti selalu melibatkan perasaan lain."

Yumi masih belum bisa menguasai kebingungannya. Yumi justru semakin bingung. "Maksudnya?"

"Aku takut hubungan kamu dan Juanka lebih dari sekadar sahabat, Yu."

Entah bagaimana caranya, tapi ketakutan Odwin terdengar manis di telinga Yumi. Membuat sudut bibir Yumi refleks mengayun naik. "Mulai hari ini kamu nggak boleh takut lagi. Aku pastiin sama kamu, hubunganku sama Juanka nggak lebih dari sekadar sahabat."

Karena kayaknya perasaan lain itu udah buat cowok lain, tambah Yumi dalam hati.

BE-YUMI-FUL [TERBIT]Where stories live. Discover now