62 - Birthday gifts

818 91 3
                                    

Zara Naulia

Setelah acara anniversary orangtua El tadi berakhir, El mengajakku pergi ke taman belakang. Dan aku tidak menolak, toh aku sedang tidak ingin melihat ekspresi kecut Daria jika bertemu di kamar. Namun, kurasa El memiliki sesuatu untuk dikatakan padaku.

Tanganku masih terasa dingin dan bergetar sejak El meminta restu orangtuanya. Semua ketakutan ini belum hilang meski keduanya tidak keberatan untuk memberi restu pada kami. Namun, aku sendiri masih belum siap jika kami harus melangkah ke jenjang pernikahan. Ada banyak hal dari El yang belum bisa kuterima, dan masih banyak pula dariku yang aku yakin belum bisa diterimanya. El bahkan belum tahu tentang kondisiku yang sebenarnya.

Aku tidak tahan kedinginan, tetapi ia justru menahanku di luar ruangan dan dibuat menunggu. Meski sudah memakai pakaian yang tertutup; celana kulot dengan blus berlengan panjang, tetapi aku tetap harus memeluk diriku sendiri. Angin malam tidak pernah ramah padaku. Lima menit lagi dia tidak datang, maka aku akan masuk ke rumah.

"Maaf membuatmu menunggu." Detik berikutnya, jas milik El tersampir di bahuku. Aku masih ingat jelas aroma parfum yang dipakainya tadi.

Aku tidak menjawab, hanya mengangguk sekali dan menerima secangkir kopi yang disodorkannya padaku. Kopinya tidak terlalu panas, jadi aku bisa langsung meminumnya selagi menunggu El membenahi jasnya di tubuhku.

"Papa minta nomor telepon ayahmu," ujarnya ketika menduduki spot kosong di sebelah kananku.

"Akan kukirimkan padamu," sahutku. Tatapanku tertuju pada kolam ikan alih-alih wajahnya. Ia harus tahu kalau aku sedang kesal dengannya.

"Nggak perlu, aku sudah memberikannya. Waktu itu kami sempat bertukar nomor ponsel."

Aku tidak tahu kapan ia melakukan itu. Karena terlalu asyik bersama kedua adikku di sela-sela waktu senggang di sana, aku sampai tidak sempat memperhatikan interaksi ayah dengan El. Beruntung sekali orang sepertinya, mudah bergaul dengan siapa saja.

"Tentang pernikahan kita, Ra, apa ayahmu-"

"Apa pendapatku nggak diperlukan?" Aku menyela.

"Maksudnya?"

Aku mengembuskan napas pelan. "Kamu memutuskan sendirian lagi."

"Aku sudah bilang nggak akan buang-buang waktu lagi, 'kan? Dan aku serius, Ra. Tadi adalah momen yang sangat pas."

Aku memaksakan senyum dan beralih memandang cangkir kopi di tanganku. Tiba-tiba nafsuku hilang begitu saja dan enggan meminumnya lagi.

"Bukan berarti kamu berhak memutuskannya sendirian. Paling nggak, kita diskusikan dulu. Hanya karena melamar itu tugas laki-laki, bukan berarti semuanya hanya bergantung sama kesiapanmu? Yang mau menikah itu kita, El, kamu juga harus menunggu aku siap."

El tidak merespons. Sejauh ini El tidak pernah mengecewakanku, kecuali di bagian di mana ia selalu memutuskan sesuatu sendirian dan tidak pernah memberi kabar jika ada masalah. Keduanya sama-sama masalah komunikasi; komponen yang paling penting dalam sebuah hubungan.

"Kalau aku jadi mamamu, aku pasti berharap kamu menikah dengan Daria."

"Maksudmu?" El rupanya tidak terima dengan apa yang aku katakan. Karena dari sudut mataku, ia lekas-lekas menoleh ke arahku.

"Karena mamamu lebih mengenal Daria daripada aku. Aku aja baru sekali bicara dengannya, El. Kamu pikir itu udah bisa meyakinkan mamamu kalau aku kandidat paling sesuai untuk anaknya?" Kali ini menatapnya.

"My bad," ujarnya dan menunduk. Kuharap ia paham dengan maksudku tadi. "Mama memang masih berharap aku kembali dengannya."

"Apalagi kalian berakhir baik-baik, 'kan?"

Intertwined [✔]Where stories live. Discover now