18 - Beban Pikiran

991 111 3
                                    

Zara Naulia

Aku melihat lagi pesan yang kukirimkam pada El. Tak ada balasan. Aku berusaha untuk mengerti bahwa El mungkin sibuk hingga tak sempat untuk membalas pesanku. Masih kuingat dengan baik jika kantor cabang El sangat baru dan perlu perhatian lebih untuk pengembangannya.

Sayangnya, memaklumi kesibukan El tidak berhasil membuatku merasa tenang. Berkali-kali aku mencoba untuk fokus membaca buku, tetap tidak bisa mengenyahkan segala spekulasi negatif yang saat ini berkeliaran di kepalaku. Apa El marah? Bukan tidak mungkin itu terjadi. Aku bisa saja membuat El tersinggung waktu itu.

Aku menutup lagi bukuku. Sulit sekali rasanya untuk bisa fokus membaca di situasi seperti ini. Hanya karena seorang pria, aku jadi segundah ini.

Kuletakkan buku tadi ke atas kasur. Kemudian mendongakkan kepala di atas kepala ranjang, berusaha sedikit meringankan urat-urat leher yang menegang karena sedari tadi hanya menunduk membaca buku. Sambil memejamkan mata, aku berharap kantuk segera datang dan aku tertidur. Dengan begitu, aku tidak perlu pusing memikirkan semuanya.

Sayangnya, ini masih jam delapan malam. Yang berarti masih ada dua jam lagi sebelum waktu tidurku tiba. Itu sebabnya mata yang kupaksa tertutup jadi terbuka lagi.

Aku menghela napas, kemudian beranjak dari kasur. Dapur adalah tujuanku. Aku ingat orang-orang berkata bahwa meminum susu di malam hari akan membuatku cepat mengantuk. Kuraih gelas tinggi dari rak. Lalu menuang beberapa sendok susu vanila bubuk sebelum menuangkan air panas ke dalam gelas. Aku juga menuangkan air dingin agar susu itu bisa segera kuminum tanpa perlu menunggu sampai dingin.

Segelas susu habis dalam sekali tenggakan. Aku memang seniat itu untuk menjemput kantuk. Aku menjatuhkan kepala ke atas meja makan, menjadikan lipatan lenganku sebagai bantal. Sekali lagi aku mencoba memejamkan mata.

Namun ponselku bergetar beberapa detik kemudian. Mau tidak mau, aku kembali membuka mata meski malas. Siapa tahu itu pesan yang penting, 'kan?

Rafael L - Aku di depan rumah kamu.

Membaca nama El membuatku segera beranjak dari kursi dan berjalan cepat ke ruang tamu. Aku membuka pintu dan kutemukan El berdiri dengan senyum tipis di wajahnya. Aku terkejut sekaligus senang melihatnya, hingga tanpa sadar menubruknya dengan sebuah pelukan. Erat sekali.

Beberapa menit berlalu, akhirnya aku melepaskan pelukan dan tersenyum. Namun, El tidak membalas senyumanku. Menyadari hal itu, mataku jadi berkaca-kaca dan teringat akan apa yang kulakukan minggu lalu. Apa ia masih marah?

"Kamu ke mana aja? Kebiasaan banget menghilang tanpa kabar."

El hanya menghela napas. Menunduk untuk melihat apa yang ada di tangan kirinya. Aku tidak sadar jika ia membawa sesuatu di tangannya. "Maaf, Ra," ujarnya lirih.

"Aku, kan, yang harusnya minta maaf? Soalnya udah bikin kamu marah waktu itu," sahutku, sarat akan penyesalan.

Kemudian hanya keheningan yang menyelimuti kami. El masih berdiri di teras, sedangkan aku bergeming di ambang pintu. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, enggan untuk saling bersuara. Entah apa yang ia pikirkan. Yang jelas, aku tenggelam dalam rasa penyesalan.

Kudengar El menghela napas berat. "Ra, ini buat kamu," ujarnya sambil memberikan yang ia bawa tadi untukku. Sebuah paper bag kecil.

"Apa ini, El?" tanyaku sambil menerima paper bag tersebut.

"Bukan apa-apa, Ra. Aku ... bener-bener minta maaf. Aku nggak bisa lama-lama. Terima kasih atas semuanya." El berbalik dan berjalan menjauh. Kemudian menghilang di kegelapan malam, meninggalkanku dengan segudang pertanyaan di kepala.

Intertwined [✔]Where stories live. Discover now