35 - Ayah Mertua

902 72 4
                                    

Zara Naulia

Aku tidak tahu apa yang terjadi pada El sore ini. Sejak melajukan mobilnya dari kantorku tadi, pria itu jadi lebih banyak diam selama di perjalanan. Berbeda sekali dengan sosok El yang kutemui saat makan siang tadi. Seharusnya kami sedang mengobrol sekarang, bukannya tenggelam dalam sunyi dan membuatku bertanya-tanya.

Tanganku terangkat ingin menyentuh lengannya. Namun, setelah kupikir lagi, mungkin aku tidak perlu bertanya padanya dulu. Terkadang, diamnya seseorang bisa berarti ia tidak ingin diganggu. Ditambah lagi, El belum pernah menceritakan masalahnya padaku. Tanganku terkepal dan jatuh kembali ke pangkuanku.

Bahkan sampai berbelok masuk ke komplekku pun El masih diam. Aku melempar pandanganku ke luar jendela dan menemukan minimarket. Aku lantas teringat bahwa ada beberapa bahan makanan yang habis di rumah. Lelah bekerja bukan berarti aku enggan memasak untuk diriku sendiri.

"El, berhenti di depan sana aja ya," ujarku sambil menunjuk minimarket yang tak jauh di depan kami.

El masih tidak bersuara dan itu semakin membuatku penasaran denga  apa yang terjadi padanya. Namun, ia tetap memberhentikan mobilnya di depan minimarket.

"Kamu bisa langsung pulang aja," ujarku sambil melepas sabuk pengaman.

"Nggak mau kutungguin?" Akhirnya ia bersuara dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.

"Nggak jauh lagi, kok, dari rumahku." Aku meraih kuncian pintu mobil dan menatapnya. "Kamu keliatan terganggu sama sesuatu. Jadi kupikir lebih baik kamu pulang dan tenangkan pikiran. Aku bisa pulang sendiri."

Setelahnya, aku berhasil membuka pintu mobil. Namun, ketika aku akan keluar, El menarik tanganku. Mau tidak mau, aku kembali menatapnya.

"Sorry, Ra. Aku nggak bermaksud mengabaikanmu," ujarnya pelan. Penyesalan terpancar dari sorot matanya yang hitam kelam.

Aku mengangguk dan mengulum senyum. "Pulanglah, El."

Aku lekas-lekas keluar dari mobil sebelum ia bicara lagi. Di depan pintu minimarket, aku berbalik sebentar untuk melihat mobilnya melaju menuju arah ke luar komplek. Menyadari bahwa ia tidak memiliki niat untuk menceritakan apa yang terjadi membuatku tertohok. Awalnya aku mengira El akan tetap menungguku, dan ia akan membagi apa yang sedang mengganggu pikirannya. Sayangnya, itu hanya bayangan di kepalaku saja.

Ingatanku kembali berlabuh ke masa di mana ia mengutarakan akan menikahiku pada orang-orang. Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Logikanya, apakah mungkin menikahi seseorang yang tidak kita percaya untuk menerima semua keluh kesahnya?

Sekali lagi, El membuatku ragu akan kelanjutan komitmen kami ke depannya.

***

Malamnya, aku sedang menikmati bolu matcha hangat yang baru kukeluarkan dari oven sepuluh menit lalu. Aku duduk di ruang tengah dengan segelas susu cokelat, ponsel, buku, dan TV menyala yang menemani.

Sesekali aku melirik ponsel di atas meja. Biasanya, El akan mengirimkan pesan di jam-jam ini. Entah itu menanyakan apa yang kulakukan, atau mengirim rekaman nyanyiannya. Aku menarik napas kuat-kuat, lalu menghembuskannya dengan keras, berharap kegundahanku tentang El akan melebur bersama karbon dioksida yang memenuhi ruangan.

Satu piring bolu habis. Aku meraih gelas susu cokelatku dan meminumnya sambil mengganti channel TV dengan remote. Malam ini benar-benar membosankan. Dan parahnya, aku baru sadar bahwa malam-malamku selalu kuhabiskan seperti ini sebelum bertemu dengan El lagi.

Aku tidak bisa mengelak bahwa aku menikmati waktu yang kuhabiskan dengan berkirim pesan padanya. Jika tidak, mana mungkin aku sampai segundah ini karena tidak mendapat kabar darinya.

Intertwined [✔]Where stories live. Discover now