52 - Sesak

986 88 7
                                    

Zara Naulia

Aku menatap El lamat-lamat. Tak peduli selama apa pun dia akan bungkam. Rasanya tidurku tidak akan nyenyak jika aku belum mendengar jawabannya. Dan aku tidak mengharapkan El menjawab dengan sesuatu untuk menyenangkanku. Yang kuinginkan hanya jawaban jujur. Tak peduli jika itu akan melukaiku. Sebab, aku sendiri sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.

"Kenapa nanya begitu? Kamu lagi sakit, Ra. Sebaiknya jangan memikirkan yang aneh-aneh dulu."

Sudah kuduga El tidak akan menjawabku begitu saja. Yang akhirnya membuatku semakin yakin bahwa sesuatu pernah terjadi di antara mereka. Sekali lagi ini bukan prasangka buruk terhadapnya, tetapi menempatkan hasilnya pada akhir yang buruk terlebih dahulu.

"Kamu cuma perlu menjawabnya, El. Cerita aja," pintaku. Aku membalas tatapan tidak tenangnya. Aku berani menyebutnya begitu karena El tidak pernah menggulirkan bola matanya ketika menatapku. Dan sekarang ia sudah melakukannya beberapa kali.

"Kamu harus istirahat biar obatnya bereaksi," ujarnya lagi. Namun, aku bergeming ketika ia menarik selimut sampai ke bahuku. Tatapanku tak sedetik pun beralih darinya.

"Aku baru bisa tenang kalau kamu ceritakan yang sebenarnya. Kalau aku mau, aku bisa nekat mencari tahu sendiri. Tapi kamu pasti tau kalau hasilnya tidak akan baik, 'kan?"

Maksudku, mengetahui tentangnya dari orang lain akan lebih menyakitkan daripada mendengar langsung darinya. Aku tidak perlu menjelaskannya karena El tampak sudah mengerti soal itu, karena sekarang raut wajahnya penuh dengan keraguan.

El duduk lesehan di antara meja dan sofa. Posisi duduknya sejajar dengan perutku jika aku memiringkan badan. Dari jarak yang sedekat ini, aku bisa menyentuh wajahnya. Sebelah tanganku yang hangat menangkup rahangnya.

"Namanya muncul dalam mimpimu waktu kamu sakit, El. Padahal aku udah lupa, tapi sekarang aku teringat lagi. Dan itu membuatku kepikiran." Suaraku memelan seiring kalimat yang kuucapkan.

El menarik tanganku yang masih menyentuh rahangnya, kemudian digenggam erat dan dikecupnya punggung tanganku cukup lama.

"Aku nggak mau kamu terluka, Ra," ujarnya kemudian.

"Kejujuran nggak akan melukaiku. Mungkin terkejut sedikit, tapi aku akan mengatasinya." Aku tersenyum untuk meyakinkannya.

"Aku nggak siap akan menceritakannya sekarang. Ini ... terlalu cepat," ujarnya masih mengulur waktu.

Aku menghela napas frustrasi. "El ... apa susahnya terbuka sama aku?"

El menatapku sekali lagi. Aku tidak tahu arti tatapannya, tetapi berhasil membuatku berdebar luar biasa. Sayangnya bukan berdebar dalam artian yang baik.

"Daria mantanku juga, Ra," ujarnya pelan tanpa menatapku. Ia menunduk dan jempolnya bergerak mengusap punggung tanganku yang masih ia genggam. "Sekaligus cinta pertamaku."

Dari banyaknya kemungkinan, itu adalah yang terburuk yang terlintas di kepalaku tadi. Aku bisa menerima El memiliki banyak mantan karena kesepiannya. Namun, aku juga sering mendengar orang-orang berkata bahwa cinta pertama akan sulit dilupakan. Kendati aku tidak memercayai itu karena aku sendiri belum pernah mengalaminya, tetapi aku tidak bisa menahan sesak yang menghimpit dadaku saat ini.

Kalau El belum melupakan Daria sepenuhnya, kenapa memutuskan untuk menikah denganku?

"Ra, aku benar-benar nggak bermaksud membuatmu terluka." El tampak mengkhawatirkanku.

Aku tersenyum lagi, tetapi air mataku mengalir begitu saja tanpa bisa kutahan.

"Ra ...." Sebelah tangan El terangkat untuk menyapu air mataku. "Jangan menangis, Ra, itu membuatku sakit."

Intertwined [✔]Where stories live. Discover now