31 - Midnight Walk

1K 95 4
                                    

Zara Naulia

Sekitar jam dua belas malam, kami memutuskan untuk tidur. Kami masih akan berada di sini sampai dua hari ke depan. Jadi, Reno mengusulkan untuk tidur awal malam ini. Hitung-hitung istirahat setelah menempuh perjalanan yang panjang. Yang lainnya setuju dan berencana untuk begadang besok malam. Dan mau tidak mau aku ikut masuk ke penginapan meski belum mengantuk.

Aku sudah berada di kamar yang kutempati bersama Rosetta. Ada dua buah kasur single bed di sini. Satu untukku, dan satu lagi untuk rosetta. Tari dan Indira ada di kamar sebelah. Dua kamar lainnya diisi oleh istri dari teman-teman kami yang ikut berlibur.

Tak sedikit pun rasa kantuk kurasakan meski sudah berkali-kali berusaha untuk tidur. Tidak mengherankan karena di perjalanan tadi kuhabiskan dengan tidur. Bangun saat mampir, dan tidur lagi ketika berada di dalam mobil. Biasanya, meski hanya tidur siang sebentar, aku mampu begadang sampai jam dua pagi.

Kulirik Rosetta yang sudah tertidur lelap tak lama setelah ia merebahkan diri di kasur. Aku mungkin satu-satunya yang belum tidur karena di kamar sebelah juga sudah tidak terdengar lagi suara dari yang lainnya.

Aku mengubah posisi menjadi duduk. Selimut yang tadi menutup sampai sebatas dada kini jatuh ke perut, memperlihatkan jaket berwarna hijau tua yang kukenakan. Terus-terusan memejamkan mata membuatku lelah. Percuma saja. Akhirnya aku memutuskan keluar penginapan untuk melihat-lihat pemandangan pantai malam hari di teras.

Sebelum benar-benar keluar kamar, aku menghampiri koperku dulu. Lalu mengeluarkan mantel paling tebal dari sana. Sebenarnya menyebalkan hidup dengan kondisi tubuh yang seperti ini. Kedinginan menjadi sesuatu yang berbahaya bagi seorang penderita hipotermia sepertiku. Suhu tubuhku akan sulit kembali normal jika sudah kedinginan.

Aku sudah berada di teras depan dan langsung bergidik saat merasakan dinginnya embusan angin di leherku. Hoodie berbulu dari jaket kutarik keluar dari dalam mantel dan kupasang ke kepala. Berharap dengan begitu bisa membuatku hangat.

Aku baru akan duduk di kursi rotan saat kudengar pintu di penginapan sebelah terbuka. Tak lama kemudian El keluar dari sana.

"El?" panggilku. Aku tidak mungkin berpura-pura tidak melihatnya sementara ia bisa menemukanku di sini detik berikutnya.

El menatapku dan berjalan mendekat ke pagar pembatas. "Nggak tidur?" tanyanya.

"Aku belum ngantuk," sahutku sembari ikut bersandar pada pagar pembatas di penginapan.

"Mau jalan-jalan di pantai?" tawar El.

Mataku langsung tertuju pada hamparan pantai di depan penginapan kami. Melihat pohon-pohon kelapa dan tembakau yang daunnya terus melambai, membuatku bergidik. Pasti anginnya deras sekali. Membayangkan diriku berada di sana saja membuatku menggeleng.

"Bukan ide yang bagus," sahutku sekenanya. Baru di sini saja tanganku sudah terasa dingin, dan aku menyembunyikannya ke dalam kantong mantelku, mencari kehangatan di sana.

"Kenapa?"

Sebenarnya aku ingin sekali mengatakan alasannya bahwa aku rentan hipotermia. Namun, menceritakan itu pada orang lain hanya akan menyusahkan mereka. Mereka akan menaruh perhatian berlebih padaku. Dan aku tidak suka ketika orang lain terlalu peduli padaku.

"Aku nggak suka dingin." Pada akhirnya hanya itu yang kukatakan. Cukup ibu saja yang tahu soal kondisiku untuk saat ini.

El hanya tertawa geli. Ia berjalan turun dari teras. Awalnya kupikir ia akan pergi sendirian, tapi ternyata ia menghampiriku. "Ayo, Ra, aku bisa jadi jaket kedua."

Tanpa persetujuanku, El menarik tanganku hingga mau tidak mau aku ikut melangkah di sampingnya. Aku tidak menolak, tapi juga tidak terima ditarik-tarik begitu. Yang kulakukan hanya pasrah karena El memang agak keras kepala jika sudah menginginkan sesuatu.

Intertwined [✔]Where stories live. Discover now