87 - (Not) a Farewell Party

900 84 11
                                    

Zara Naulia

Aku menatap kalender dengan sorot yang sendu—setidaknya itu yang sempat tertangkap olehku ketika menatap cermin. Wajahku kuyu, seperti awan kelabu yang menggantung di langit, menggagalkan usaha matahari untuk memancarkan sinarnya pagi ini. Hanya tinggal menunggu waktu sampai hujan turun menyuburkan bumi. Padahal seharusnya hari ini akan jadi hari yang cerah, minimal agar tidak terbawa suasana dan berujung menyelami masa lalu—yang tidak pernah ingin kuingat lagi, tentunya.

Akhirnya saat ini tiba. Aku sempat mengira bahwa hari ini hanyalah mimpi belaka. Mimpi yang tidak diharapkan datang karena hanya akan membangungkan seseorang yang terlelap di malam hari dan menimbulkan sesak di dada. Itu berlebihan, tetapi aku sungguh-sungguh berharap ini hanyalah mimpi.

Perpisahan adalah mimpi buruk setiap manusia.

Pintu kamarku diketuk, tetapi sebelum dipersilakan, si pelaku sudah lebih dulu menyembulkan sebagian tubuh di sela-sela pintu yang dibukanya sedikit. Melihat senyumnya, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak turut tersenyum. Lagi pula, aku tidak bisa memperlihatkan wajah sedihku kepadanya. Aku tidak ingin memberikan energi yang negatif di hari yang sudah tidak cukup baik ini.

"Kak, kok, masih di sini?" Suaranya yang halus membuatku berdesir. Bagaimana bisa gadis sepolos Fia harus merasakan kehilangan sepertiku dulu?

"Fia udah sarapan?" Aku menanyakan hal lain sebagai pengalihan, sebab aku tidak punya alasan selain merenungi angka-angka di kalender.

"Udah, Kak," balasnya sembari berjalan memasuki kamarku. "Fia ke sini buat manggil Kakak buat sarapan juga."

Perutku sedang bergejolak sekarang, membayangkannya saja sudah membuatku merasa mual. Aku akan makan agak siang nanti, mungkin setelah agenda hari ini berakhir.

"Kakak masih kenyang, tadi malam, kan, abis makan banyak." Aku beralibi agar Fia tidak mempertanyakan hal lainnya, tetapi memang benar kami memesan banyak makanan semalam. Takada alasan khusus, hanya ingin.

"Terus kenapa masih di sini, Kak?" Fia duduk di sebelahku di kasur, membiarkan kakinya berayun karena kasurku lumayan tinggi.

"Ibu sama Abang udah siap?"

"Umm ... ." Bibir mungil itu mengerucut hingga aku merasa gemas dan mencubit pipinya. Terkadang aku masih tidak percaya kalau Fia sudah kelas 3 SD, ia seperti anak TK bagiku. "Aduh sakit, Kak," protesnya.

Aku hanya cekikikan dibuatnya. Mengganggunya benar-benar memperbaiki suasana hatiku saat ini. Ah, seandainya bisa, aku ingin menukar hari ini dengan satu jam saja melihat tingkah lucu Fia.

"Gimana? Mereka udah siap?" Aku mengulangi pertanyaanku sembari menata rambutnya yang agak berantakan bekas menggeleng demi melepaskan diri dari cubitanku.

"Kayaknya udah, Kak. Tadi Ibu sama Abang masih makan waktu Fia tinggal ke sini."

"Lho, kenapa ditinggal?"

Fia tersenyum sekaligus menggembungkan kedua pipinya dan menempelkan diri padaku. Aku sangat suka ketika ia bermanja-manja seperti ini padaku. Rasanya seperti aku adalah sosok yang bisa diandalkannya, tempatnya bersandar, dan apa pun itu yang mampu membuatnya merasa nyaman.

"Abisnya Kakak nggak muncul-muncul, sih."

"Kayak Kakak pergi ke mana aja," sahutku dan tersenyum jenaka. Ingin sekali kuacak rambutnya, tetapi Ibu sudah menyisirnya dengan rapi dan menghiasi dengan beberapa jepit berbentuk bunga matahari, tidak mungkin kurusak tatanan rambutnya. Fia justru tampak seperti ingin pergi ke taman bermain, padahal tujuan kami hari ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk didatangi.

Intertwined [✔]Where stories live. Discover now