3 - Wedding Bucket

2.4K 230 23
                                    

Rafael Lazuardi

Aku bergerak gelisah di kasur saat dering ponsel terdengar nyaring, bahkan getarannya saja terasa di punggungku. Rupanya semalam aku tertidur saat memainkan ponsel, sampai benda yang memancarkan radiasi berbahaya itu ikut terlelap bersamaku di kasur semalaman. Aku menggeser tubuh tanpa membuka mata, tangan kananku terulur untuk meraba-raba bagian kasur yang kosong untuk menemukan ponsel tersebut.

Terlalu mengantuk membuatku enggan membuka mata. Aku bahkan tidak tahu sekarang jam berapa, yang pasti, tak ada cahaya menyilaukan yang merambat masuk dari jendela tepat ke wajahku; alarm alam. Kemudian jempolku mengusap layar ponsel dari kiri ke kanan asal-asalan sampai telepon tersambung.

"Halo?" Suaraku benar-benar serak khas orang tidur.

"El, jadi bareng nggak?"

Suaranya sangat nyaring sampai-sampai aku hampir melemparkan ponselku sendiri. Tanpa bertanya siapa, aku sudah tahu siapa yang meneleponku sepagi ini. Yohanes, teman dekatku sejak zaman SMA.

"Bareng apanya, Han?" tanyaku sambil mengucek mata. Aku benar-benar lupa janji apa yang kubuat dengannya.

"Kamu jadi datang ke nikahannya Sam, 'kan?"

Mataku terbuka lebar dan langsung tertuju pada jam yang digantung di dinding di hadapan kasur. Jam enam pagi. Seharusnya kami sudah berangkat sekarang. Namun, aku masih dengan nyamannya berbaring di kasur. Perjalanan menuju pernikahan Sam harus ditempuh selama empat jam. Makanya mereka berencana untuk berangkat pukul enam pagi agar tiba di sana tepat waktu. Padahal kupikir tak apa-apa jika datang terlambat. Toh ini bukan seperti mereka adalah seorang menteri yang harus menghadiri pelantikan Presiden, yang kehadirannya sangat diperlukan demi kelangsungan acara.

"El! Jangan bilang kamu tidur lagi!"

Yohanes memekik lagi. Sampai-sampai aku bersumpah jika dia ada di hadapanku sekarang, akan kutendang aset berharganya.

"Bisa, kan, nggak teriak? Aku nggak tidur." Aku menyahut kesal.

"Kapan ke sini? Udah ditunggu. Tinggal kamu yang belum datang."

Tidak kusangka mereka serius. Ke mana perginya orang-orang yang selalu datang terlambat jika kami memiliki janji untuk bertemu? Rupanya memiliki karier membuat mereka lebih disiplin.

"Kalian duluan aja. Aku nyusul nanti."

Aku baru bangun tidur. Well, meski tidak secara harfiah karena aku masih dengan posisi berbaring di atas kasur. Aku belum melaksanakan ritual pagi yang menghabiskan waktu hampir setengah jam sebelum aku benar-benar siap untuk berangkat. Tidak mungkin aku membiarkan mereka menunggu selama itu. Lagi pula berangkat sendiri lebih nyaman, karena aku bisa bebas menentukan berapa kecepatan mengemudiku, atau jalan mana yang akan kutempuh. Perjalanan empat jam bisa saja kutempuh dalam kurun waktu tiga jam saja.

"Nggak. Cepetan bangun. Mandi sana. Aku nggak yakin kamu datang sendiri. Hm. Belajar dari pengalaman."

Belajar dari pengalaman. Aku bisa merasakan seberapa kesalnya ia saat mengatakan itu. Ia pasti ingat betul betapa sering aku batal pergi setelah mengatakan 'aku akan menyusul'.

"Serius, Han. Kalian berangkat aja. Nanti aku nyusul."

"Apa jaminannya kalau aku nggak ketemu kamu di sana?"

"Aku bakalan susah dapat jodoh," tandasku. Sekarang apa ia masih tidak memercayaiku? Sebagaimana ia mengenalku, seharusnya ia tahu bahwa aku sudah tidak bisa lebih serius lagi dari ini.

Intertwined [✔]Where stories live. Discover now