33 - Yang Mengejutkan

963 95 2
                                    

Zara Naulia

"Aku dan Zara akan menikah."

Aku merasa seperti ada batu yang menghantam kepalaku saat El mengatakan itu. Sampai-sampai berkedip saja rasanya sulit sekali. Tidak pernah terbayang olehku kalau El akan memberitahu mereka secepat ini. Padahal ia sendiri tahu aku belum siap memberitahu yang lainnya tentang kami. Karena kami belum yakin pada perasaan satu sama lain, kupikir tidak seharusnya membuat pernyataan seperti itu.

Tak ada yang bicara sedikit pun saat ini. Semuanya diam, dan aku mulai memandang satu per satu teman-temanku yang tampak tidak percaya pada apa yang mereka dengar. Mereka pasti berpikir, mustahil aku bisa bersama pria sepopuler El.

"Wow." Yuda memecah keheningan. Suara tepuk tangannya menggema di keheningan malam. "Aku sudah menduga ini terjadi, karena itu kamu menanyakan alamat rumah El padaku, 'kan?"

Mendadak mereka ricuh, mengucapkan selamat padaku dan El. Saat itulah Rosetta berjalan menghampiriku dan menggamit lenganku.

"Aku sudah bilang, nggak ada yang salah kalau kalian bersama," ujarnya menenangkanku. Namun, tak berhasil membuat jantungku berhenti berdegup kencang. Karena sebenarnya bukan itu yang kupermasalahkan. Aku tidak peduli pada restu orang-orang selain orangtua kami.

"Aku nggak tau, Ros," ujarku lemah, yang mana direspons Rosetta dengan usapan di bahuku.

Semakin lama berada di sini semakin tidak mengenakkan. Namun, El justru tampak lega setelah mengakuinya. Aku bisa melihat ia tampak semringah saat mengobrol dengan beberapa teman kami. Lalu kenapa aku tidak bisa sepertinya? Bukankah aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan membiasakan diri dengan status calon istri El?

Aku beranjak dari dudukku hingga membuat tangan Rosetta tak bisa menjangkauku. Sebentar saja aku ingin sendiri, setidaknya untuk menenangkan diri.

"Mau ke mana, Ra?" tanyanya.

"Aku perlu sendiri dulu, Ros." Dan aku segera pergi dari sana sebelum El menyadarinya.

Sebenarnya aku tidak tahu ke mana tujuanku saat ini. Aku hanya melangkah dan terus melangkah menyusuri pesisir, setidaknya sampai cukup jauh dari tempat kami berkumpul tadi. Sampai kemudian aku berhenti di samping sebuah pohon bakau yang cukup besar.

Aku bersandar di sana, melepas penat. Dan baru menyadari bahwa meninggalkan mereka bukan ide yang bagus. Aku hanya mengenakan selapis mantel tebal saat ini, sementara udara berembus semakin dingin.

Tubuhku merosot, duduk bersandar sambil memeluk lututku. Suara deburan ombak menemaniku. Bayangan wajah El muncul saat aku memandang jauh ke hamparan laut; wajahnya yang tersenyum. Ia tampak bahagia meski sebelumnya berkata dengan raut wajah yang sangat serius, seperti ia sedang menegaskan sesuatu pada seseorang.

Alih-alih merasa senang, aku justru merasa bahwa aku masih belum pantas untuk menyandang status sebagai istri El. Kendati bukan ingin menikah dalam waktu dekat, tapi mendengarnya mengakui itu di depan orang-orang, tetap membuatku khawatir luar biasa.

Bagaimana kalau kami tidak bisa memenuhi apa yang baru saja El katakan?

Memikirkan jawaban itu membuatku bergidik sendiri. Kali ini bukan hanya karena udara yang dingin, tapi karena tersadar bahwa menikah itu tanggung jawabnya besar.

Aku menyandarkan kepala ke pohon di belakangku dan memejamkan mata. Sebentar saja seperti ini. Sampai kemudian kurasakan sesuatu terjatuh di atas lipatan lututku. Aku segera membuka mata dan melihat El ikut duduk di sebelahku tanpa jaketnya.

"Yang tadi pasti bikin kamu kaget ya," ujarnya pelan.

Aku meletakkan dagu di atas jaketnya dan menjawab, "Lumayan. Tapi, kamu pasti punya alasan, 'kan?"

Intertwined [✔]Where stories live. Discover now