55 - Berangkat

857 84 12
                                    

Zara Naulia

Aku bertopang dagu di atas meja makan. Sementara pandanganku tak beralih sedikit pun dari pria yang menumpang untuk mengerjakan tugas kantornya di sini, di ruang makan. Satu jam sebelum waktunya makan malam, El datang ke rumahku dengan pakaian rumahan dan membawa laptop serta beberapa bahan untuk memasak.

Ketika kutanya kenapa datang, ia hanya menjawab, "Aku perlu ditemani seseorang saat ini."

Kukira kami akan menonton film sambil mengobrol seperti yang biasa kami lakukan, tetapi yang terjadi justru di luar ekspektasiku. Sudah dua jam ia tenggelam dalam aktivitasnya itu, terhitung sejak kami berhenti mengobrol. Setelahnya, kami hanya diam, melakukan aktivitas kami masing-masing. Dan aku sudah mencuci peralatan makan sisa makan malam kami tadi. Biasanya aku lebih suka merendamnya dulu di wastafel sampai pagi dan kucuci bersamaan dengan sisa sarapanku. Namun, kali ini aku tidak bisa membiarkan benda-benda kotor itu menjadi sesuatu yang membuat tamuku merasa jijik.

Sayangnya, hal ini membuatku cukup bosan. Aku tidak tahu apa lagi yang ingin kulakukan. Hanya menonton film yang terpikirkan olehku saat ini. Aku perlu sesuatu yang dapat melipur lelahku seharian ini. Terlebih lagi, aku sudah melakukan review terkait apa saja yang perlu kupersiapkan lagi untuk acara kantor. Aku benar-benar memerlukan hiburan saat ini.

Namun, aku juga tidak bisa membiarkan El sendirian di sini kerepotan dengan pekerjaan, sementara aku terhibur dengan menonton film. Itulah sulitnya menjadi orang yang tidak enakan.

El memang tidak banyak bicara sejak tiga minggu lalu. Aku sampai mengira ia kecewa padaku karena menolak ikut pulang. Namun, ia masih datang dan memikirkan hal-hal kecil tentangku seperti membelikan stok bahan makanan bulanan. Bahkan sebelum menyentuh laptop, El masih sempat mengisi kulkas dan  pantriku dengan belanjaan yang dibawanya.  Sayang, perhatiannya tidak mampu mengusir gundah di hatiku.

Aku menegakkan badan dan tatapanku lurus pada El. Kugigit bibir bawahku selagi mempertimbangkan apakah baik-baik saja jika aku memastikan ucapan Daria minggu lalu atau tidak. Aku benar-benar tidak tenang ketika tahu El sudah lama tidak bertemu dengan orangtuanya. Namun, aku juga tidak harus merasa bertanggung jawab karena keputusan yang dipilih El.

Pikiranku buyar ketika kudengar suara El menutup laptopnya. Aku kembali memfokuskan pandanganku padanya dan menemukan El sudah menatapku.

"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Ra?"

El berhasil membuatku merasa transparan. Kalau sudah seperti ini, kupikir tidak ada lagi alasanku untuk tetap diam.

"Kamu ... jadi pulang?" tanyaku hati-hati.

"Tergantung kamu."

Aku menggigit bibir bawahku karena tiba-tiba merasa terbebani dengan jawabannya.

"Kamu bisa pergi tanpa aku. Kamu nggak mau ketemu sama orangtuamu?"

Aku takut salah bicara, tetapi selama aku dekat dengan El, ia tidak pernah membahas tentang mereka. Apalagi berencana pulang untuk menemui mereka. El sama merantau sepertiku. Jika ingin pulang, perlu waktu berhari-hari untuk bisa beristirahat di sana. Namun, yang kutahu El tidak pernah libur dari pekerjaannya selain untuk menyusulku.

"Ada sesuatu yang membuatku tidak ingin pergi," ujar El lemah, lalu menunduk menatap jari-jarinya yang tertaut di atas meja. Tangan itu ingin kusentuh sekadar untuk meyakinkannya.

"Apa?"

El menghela napas. "Mama mengundang Daria untuk datang. Tapi sama sekali nggak meneleponku. Bahkan Papa menelepon setelah kuberitahu  nggak bisa datang. Kadang aku bingung siapa anak mereka sebenarnya."

Intertwined [✔]Where stories live. Discover now