19 - (Un)Lucky Day

1K 96 1
                                    

Zara Naulia

"Zara!" panggil seseorang dari depan pintu ruangan kami.

Aku, juga seluruh mata di ruangan tertuju pada seorang pria kurus dan jangkung dengan kacamata yang miring karena habis berlari. Terbukti dari napasnya yang tersengal. Matanya bergerak liar memindai seisi ruangan. Mungkin mencariku.

"Ada apa, Pak?" tanyaku. Setelah berdiri agar ia menemukanku.

"Ke ruang rapat ... sekarang ...," balasnya masih terengah.

Aku meraih ponsel di atas meja, lalu tas jinjing yang berisi laptop dari dalam lokerku. Biasanya jika sudah begini berarti ada rapat dadakan. Maka yang kuperlukan yaitu laptop, buku catatan dan sebuah pen. Aku paling tidak bisa jika tidak membuat catatan di buku, meski mengetik di laptop lebih memudahkan. Entahlah, rasanya ada yang kurang jika tidak ditulis di buku.

Sudah dua tahun aku menjadi asisten manajer divisi. Hal itu membuatku terbiasa dengan kejadian-kejadian tak terduga semacam ini. Singkatnya, aku harus selalu siap jika sewaktu-waktu diminta untuk memeras otakku, problem solving.

Kuketuk pintu kaca yang di dalamnya sudah ada sebelas orang, baik itu manajer per divisi, atau asistennya. Kulakukan itu sebagai formalitas, sebab setelah beberapa orang menoleh ke pintu, aku segera masuk ke ruangan tanpa perlu berucap permisi. Rapat sudah dimulai, bersuara hanya akan menginterupsi mereka.

Menjadi yang termuda membuatku harus menjaga sopan santun. Termasuk saat aku ingin mengajukan pendapat dalam rapat. Tak peduli jabatannya setara denganku atau tidak.

Bagiku, mereka yang lebih tua adalah senior dalam hidup. Pengalaman mereka lebih banyak karena sudah hidup lebih lama. Meski sadar, bahwa tidak semua orang yang lebih tua memiliki pemikiran yang lebih dewasa. Namun, aku tetap menghormati mereka.

Kendati demikian, tak sedikit yang menganggapku hanya mencari muka, agar mendapat kepercayaan menjadi asisten manajer divisi. Tidak jarang aku mendengar bisikan-bisikan dari beberapa karyawan. Abel bilang mereka hanya iri, jadi aku tidak perlu memikirkannya.

"Mohon izin bicara, Pak, Bu," ujarku setelah mendapat celah untuk bicara. Situasi di dalam sini benar-benar menegangkan aku sampai harus menunggu agar dapat bicara.

"Ya, silakan, Zara," sahut salah seorang wanita di sini.

"Sebelumnya saya mohon maaf, karena masalah ini berasal dari divisi kami. Saya dan Pak Jared akan mengusahakan yang terbaik untuk memaksimalkan kinerja anggota divisi. Selama ini mereka keteteran, karena ketika terdapat tipe gangguan yang baru, yang sebenarnya berasal dari kesalahan pelanggan kita. Sebagai divisi Helpdesk, jujur saja, permasalahan-permasalahan ini agak memberatkan kami. Jadi saya-"

"Kami perlu solusi, Nona, bukan keluhan," seorang pria berjanggut tebal memotong pembicaraanku. Bukan hanya sekali pria itu memotong pembicaraan orang lain. Beliau sering membuat kesal, tapi aku bisa apa?

"Mohon maaf, Pak, saya belum selesai bicara," pungkasku dengan kalem, tapi tegas. "Saya, sedang mencoba membuat grafik kinerja karyawan divisi Helpdesk. Saya belum mengkonsultasikan ini kepada Pak Jared sebagai manajer, karena saya ingin menyelesaikan grafiknya terlebih dahulu. Mungkin ini bisa jadi solusi. Dari grafik yang saya buat, akan terlihat di bagian mana saja yang dikuasai oleh anggota sebelum akhirnya saya fokuskan ke permasalahan yang mereka kuasai tersebut."

"Sepertinya itu ide bagus. Lanjutkan, Ra. Saya sangat mendukung."

Aku tersenyum puas saat tahu Pak Jared mendukung penuh apa yang kulakukan. Namun, tak berlangsung lama sebab ucapan pria tua berjanggut tadi kembali membuat mood-ku berantakan.

Intertwined [✔]Where stories live. Discover now