42 - Penerimaan

905 89 6
                                    

Rafael Lazuardi

Aku tidak pernah menyangka akan berada di sini. Tepatnya di kediaman keluarga Zara. Sehari setelah menerima alamat yang dikirimkannya padaku, aku mendapat pesan dari nomor seseorang yang katanya adalah milik sebagai sepupu Zara. Pesan itu berisi tentang pakaian harus kukenakan dan tanggal acara dengan tambahan catatan bahwa itu adalah Zara yang meminjam ponsel sepupunya.

Anehnya, Zara justru terkejut melihatku. Seperti kedatanganku tampak mustahil baginya. Aku sempat ingin meminjam ponselnya untuk membuktikan pesan yang ia kirimkan padaku, karena ponselku tertinggal di mobil saking buru-burunya. Namun, perhatianku teralihkan ketika adik kecil Zara memukuliku. Balita itu rupanya sadar aku sudah melukai kakaknya. Sekarang, ia masih berada di pangkuanku, menunggu di ruang tamu selagi Zara menyiapkan kamar untukku.

Sampai tadi siang, tidak ada lagi yang kupikirkan selain lekas-lekas menemui Zara. Alamat yang harus dituju sudah kudapat, apa lagi yang harus kutunggu? Itu yang memantapkan diriku untuk segera menyusulnya. Bahkan dua hari kemarin aku rela lembur demi menyelesaikan pekerjaanku agar aku bisa libur sebelum akhir pekan.

Lelahku terbayarkan dengan melihat Zara. Wanita itu menghampiriku dan mengangkat Zia dari pangkuanku.

"Kamar tamunya udah disiapin, El. Ada di ujung kanan dekat dapur," ujar Zara sambil menunjuk arah yang dimaksudnya.

Aku hanya diam dan tersenyum memandangnya. Ingin sekali aku merengkuhnya, menyesap dalam-dalam aromanya, lalu membisikkan kata rindu. Sayangnya, tidak bisa kulakukan itu karena harus menggendong Zia.

Aku berdiri, lalu mengangkat koper berukuran sedang di samping kakiku. Tersenyum usil, aku memperpendek jarakku dengan Zara.

"Thanks, Baby," ujarku sambil menangkup pipinya dengan sebelah tangan.

Wajah Zara memerah dan ia lekas-lekas memalingkan muka, sungguh sebuah reaksi yang kuharapkan darinya. Pasti ia merasa jijik sekarang.

"Jangan ngelakuin hal yang aneh-aneh kayak gitu, El. Orang tuaku ada di sini," tegur Zara.

"Ketika mereka melihat, saat itulah mereka tahu bahwa aku calon menantunya."

Zara membulatkan matanya. "Kamu bukan mau ngasih tau mereka sekarang, kan, El?"

"Lebih cepat lebih baik, Ra."

Hanya itu yang kukatakan padanya. Memikirkan tentang pertemuanku dengan Daria kembali, tentang pengakuannya ingin kembali padaku, dan sebelum aku goyah dan kembali padanya, aku ingin memiliki Zara. Ingin bersamanya dan aku tidak bisa membayangkan hal lainnya selain menemukan Zara begitu aku membuka mata setiap pagi.

"El, pertemuan terakhir kita nggak berakhir baik. Menurutmu kita nggak perlu menyelesaikan apa-apa?"

Aku terdiam, sambil mengartikan tatapan sendu yang Zara tunjukkan padaku. Sorot lelah, kecewa, khawatir, semuanya beradu di sana. Hingga membuat mata itu memerah dan berair. Sebentar lagi ia akan menangis. Betapa kurang ajarnya aku, bukannya membuat Zara bahagia, aku justru membuatnya menangis. Sikapku waktu itu pasti membebani pikirannya.

"Zara-"

Ucapanku terpotong karena Zara memutar badannya.

"Bicaranya lanjutkan besok aja. Sebaiknya kamu bersihkan diri dan segera tidur," ujarnya.

Aku bergerak cepat merengkuhnya, melingkarkan tanganku di bahunya dan berhati-hati agar tidak mengenai Zia. Tulus keinginanku untuk memeluknya, mendekap hangat tubuhnya. Kepalaku jatuh di atas bahunya, menciumi bagian itu berkali-kali seperti aku tidak akan mendapatkan kesempatan ini lagi lain kali.

Intertwined [✔]Where stories live. Discover now