68 - Hard Decisions

774 102 12
                                    

Rafael Lazuardi

"Aku nggak akan ada di sini kalau bukan karena Mama."

Aku tidak bisa berhenti merasa marah saat ini. Yang terus kulakukan hanyalah menahan diri agar tidak berteriak di sini untuk membentaknya. Bukan karena kasihan, tetapi karena ini di tempat umum, di mana di sekeliling kami ada banyak orang yang menikmati makanan mereka. Aku tidak pernah mengharapkan makan malam yang seperti ini, makanan yang kupesan pun tak tersentuh sama sekali. Nafsu makanku menguap begitu saja meski saat ini sedang sangat lapar.

"Maaf, kamu, kan, tahu sendiri aku tidak punya siapa-siapa di sini," sahutnya tanpa ada rasa bersalah, seolah-olah hal seperti ini adalah sesuatu yang sangat wajar untuk dilakukannya.

"Bukan berarti kamu bisa dengan leluasa mengadu ke Mama agar aku datang untuk membantumu. Itu licik, Daria."

Aku yang frustrasi mengusap kasar wajahku. Ia tidak meminta bantuanku langsung, tetapi melalui Mama. Entah drama seperti apa yang dibuatnya hingga Mama merasa bahwa ia memang sedang dalam masalah besar. Padahal hanya dirampok di jalan dan kehilangan beberapa lembar uang saja. Ketika aku datang, ia tampak baik-baik saja dan aku yakin tangisnya tadi pun palsu.

Sekarang tersisa aku yang merasa bersalah sudah meninggalkan Zara hanya karena omong kosong ini. Parahnya, aku justru terjebak di sini karena ia selalu membawa-bawa nama Mama.

"Ya ... aku hanya memanfaatkan kesempatan yang diberikan padaku."

Aku mendengkus sebal. "Penyalahgunaan kesempatan lebih tepatnya," sindirku.

Kunyahan di mulut Daria memelan. Tatapannya mulai turun dan mendarat di tangan kiri yang kuletakkan di atas meja. Aku tidak tahu apa maksudnya melakukan itu.

"Kamu belum ada ikatan apa-apa dengan Zara. Tanganmu saja masih kosong. Jadi, nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Zara orang baik, dia akan mengerti tentang kita."

"Tentang kita yang sudah berakhir, Daria." Aku memundurkan kursiku, bersiap pergi. "Dengar, apa yang terjadi sama kamu adalah masalahmu sendiri. Aku nggak punya tanggung jawab apa pun atas kamu. Mama hanya terlalu baik padamu. Padahal kamu sudah melukainya dengan pergi bersama pria lain. Kalau kamu berharap kita akan kembali, berusahalah dalam mimpimu."

"Ada banyak hal yang berawal dari mimpi, El. Terima kasih sudah memberiku kesempatan."

Daria berusaha membuatku mengasihaninya lagi; suaranya serak dan matanya berkaca-kaca. Sekarang aku sadar, bahwa selama ini ia selalu melakukan itu, selalu menempatkan dirinya sebagai korban atas apa yang terjadi agar orang-orang bersimpati padanya. Mungkin ia juga melakukan itu ketika menjelaskan semuanya pada Mama. Karena seharusnya Mama kecewa, bukan justru menjadi sangat peduli pada Daria.

Ya sudahlah, berlama-lama di sini akan membuatku semakin membencinya. Aku lebih baik pergi, dan meminta bantuan Papa agar menyegerakan pernikahanku dengan Zara.

Setibanya di mobil, aku memeriksa ponsel. Ada tujuh panggilan tak terjawab dari Papa. Tadi aku meletakkannya di saku jas dan ketika bertemu Daria, aku meninggalkannya di mobil tanpa sengaja. Semua itu karena Mama yang panik meneleponku saat aku di jalan menuju lokasi Daria.

Namun, untuk saat ini bukan telepon Papa yang mengganggu pikiranku. Maaf, Pa, tapi aku harus menghubungi Zara terlebih dahulu. Ini sudah cukup larut, dan aku harus menjemputnya meski ia belum menghubungiku. Aku tahu dia pasti merasa tidak enak jika menggangguku.

Sayangnya, aku tidak dapat tersambung dengannya karena ia sedang dalam panggilan lain. Jadi, aku mencoba menghubungi Vita sambil mengemudikan mobilku ke rumahnya.

"Ya, El?"

"Halo, Vita. Maaf mengganggumu semalam ini. Apa Zara masih di sana? Aku sudah meneleponnya tapi nggak tersambung."

Intertwined [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang