63 - Rainy Days

832 85 8
                                    

Rafael Lazuardi

"Selamat ulang tahun, dan aku cinta kamu, Rafael Lazuardi."

Aku tidak bisa berhenti memutar ulang kata-kata itu di kepalaku. Kendati waktu itu aku agak memaksanya, tetapi masih memberi efek kupu-kupu di perutku, rasanya menggelikan. Euforia ini, aku tidak tahu apakah karena aku berhasil menantang diriku sendiri untuk membuat Zara jatuh cinta padaku, atau aku memang mengharapkan cintaku berbalas. Nyatanya, aku lupa tentang menantang diri setelah aku jatuh cinta padanya. Aku tidak bisa berhenti tersenyum saat ini. Tak peduli jika aku sedang bersantai menikmati tayangan film di ruang tengah vila bersama yang lainnya.

Malam ini hujan mengguyur deras disertai angin kencang, karena tidak bisa melakukan apa-apa di luar, kami memutuskan untuk menghangatkan diri di dalam vila. Puncak sudah dingin dari sananya, dan hujan menurunkan suhu hingga aku harus menutup seluruh badanku dengan selimut.

Sesekali aku melirik Zara di ujung sofa bersama dua keponakanku; putri pertama Naya dan putra kedua Kak Tiara. Ia sudah memakai jaket dan masih mengenakan selimut tebal. Sebenarnya aku penasaran kenapa ia selalu berusaha membuat dirinya agar tidak kedinginan. Aku pernah menemui beberapa orang tidak tahan dingin, tetapi hanya sebatas membuatnya menggigil dan ketika sudah berada di tempat yang bersuhu lebih tinggi, mereka tidak kedinginan lagi.

"Aduh!" Aku tiba-tiba merintih dan menatap tajam Felix yang baru saja menindih kakiku dengan sikunya. Dan ia dengan tanpa dosanya membalas tatapanku seraya menyeret kotak tisu.

"Dari tadi Mama manggil nggak dihiraukan," sahutnya agak ketus. "Ini, Ma," ujarnya kemudian pada mama yang sedang kerepotan menyapu air mata sebelum Felix memberikan tisu.

"Masa?" Aku tidak percaya.

"Kak Zara nggak ke mana-mana, nggak usah dipelototin segitunya, Bang. Orang kasmaran tuh aneh ya."

Wajah Felix menyebalkan sekali saat ini. Ia menggeleng seperti orang tua yang tak habis pikir dengan kelakuan anak zaman sekarang. Felix hanya belum merasakannya. Lihat saja nanti, ketika itu terjadi dan ia bersikap sepertiku tadi, aku akan ada di baris terdepan untuk menertawakannya.

"Awas aja nanti kalau kamu kayak gitu," ancamku.

Felix mencibir, lalu membanggakan diri dengan memukul dada kirinya satu kali. "Anti bucin. Aku bakal bersikap sewajarnya, Bang. Mau taruhan?"

"Nggak. Kasian kalau kamu kalah."

Setelahnya aku mulai fokus pada TV. Scene yang ditampilkan merupakan bagian yang sedih. Pantas saja Mama sampai menangis. Aku menggeleng, film seperti itu memang cocok untuk bersama keluarga, tetapi sama sekali bukan seleraku. Namun, aku harus tetap di sini untuk menghargai momen kebersamaan ini dengan keluargaku.

"Bang," panggil Felix, kali ini dia berbisik.

"Apa?" sahutku agak kesal.

"Tadi senyum-senyum mandangin Kak Zara. Mikirin apa hayoo? Pasti yang iya-iya nih!" tuding Felix dengan senyum menjengkelkan yang dimilikinya.

Aku lantas balas berbisik, "Kamu mau tahu?"

Felix mendekatkan kepalanya padaku. "Apa, Bang, apa?"

Selanjutnya aku mendaratkan bantal sofa ke wajahnya dengan keras, hingga kepalanya berbenturan dengan kepala Bang Andre. Keributan kecil yang kami timbulkan sampai membuat semua orang terganggu. Bahkan Mama sudah menatap kami dengan alis tertaut kesal.

"Kalian ini udah besar kenapa masih ribut?" Mama protes. Aku lupa kapan kali terakhir mendapati Mama seperti itu.

"Lho, kapan lagi kita melihat mereka kayak gitu, Ma? Pas masih kecil, kan, Rafael nggak suka sama adeknya."

Intertwined [✔]Där berättelser lever. Upptäck nu