《Chatting》

671 79 4
                                    

Laras.

Aku masuk ke dalam kamar setelah pertengkaran hebat antar kakak-adik beberapa jam yang lalu. Aku merenung sambil membuka jendela, merasakan semilir angin yang menerpa wajahku yang tidak terlalu cantik ini.

Sebetulnya aku tidak mengerti, atas dasar apa Tuhan membawaku dalam kehidupan Arjuna. Yang dulunya hanya kusapa sebagai Tuan Muda, sekarang hidup bersama dengan dia.

Aku seharusnya tahu, bahwa hidup dengan bocah sepertinya tidaklah mudah. Sangat menyimpang dari segala kepribadianku, tetapi bukan tidak nyaman, hanya saja kami tidak satu tujuan.

Aku menerimanya atas dasar mama, ya, aku tidak pernah bisa menolak keinginan wanita itu. Sejak dulu, yang aku lihat dia sangat gigih untuk mencukupi kebutuhanku seorang diri, tanpa bantuan suami.

Saat itu umurku masih sembilan tahun, dan mereka bertengkar hebat. Aku hanya diam di kamar sambil mendengarkan musik di menggunakan earphone dan memainkan boneka barbieku. Mama menyuruhku melakukannya ketika dia mulai berteriak dan bertengkar dengan papa. Aku hanya menurutinya.

Mama bilang, itu adalah bentuk kasih sayang. Namun, aku tidak sebodoh itu walaupun aku masih sangat kecil. Aku sangat tahu kalau hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja.

Sampai pada hari di mana papa kecelakaan, Mama tidak berniat mengajakku untuk menjenguknya. Yang kuingat dia pulang setelah mendengar kabar itu, dan langsung mengemasi barang kami.

"Ayo kita pergi, papamu sudah mati."

Aku sungguh tidak sedih, meskipun dalam hati aku cukup terkejut. Aku tidak menanyakan apa pun karena terlihat wajah mama sangat frustrasi, dan juga aku tidak terlalu dekat dengan papa. Dia sangat sibuk sampai-sampai tidak pernah bermain denganku. Mama sangat lelah, dengan hubungannya yang penuh masalah. Aku mencoba memahami dan menurut tanpa melakukan perlawanan. Aku tidak ingin menambah lukanya, meskipun aku tahu sebenarnya mama berbohong.

Bila benar meninggal, pasti akan ada ambulans yang mendatangi rumah kami dengan membawa jenazahnya. Tapi, sama sekali tidak ada. Bahkan mama tak pernah menunjukkan makam papa.

Dan ... aku pernah bertemu dengannya sekali, saat sedang membeli buku di perpustakaan. Dia sedang berkumpul dengan rekan kerjanya, mungkin sedang dalam perjalanan bisnis.

Kami pindah dari kota Semarang ke Jakarta. Semenjak hari itu, aku tidak lagi mendengar kabar papa. Aku pernah menanyakannya sekali saat aku duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kali pertama aku mengatakan rindu pada sosok yang selalu kasar pada mama.

"Apa papa beneran gak akan mengantarkanku ke sekolah hari ini?"

Amara berusaha memaksakan senyumnya. Aku menyadari itu. Ya, aku hanya penasaran saja apa yang akan dijawab wanita kuat itu.

"Dia sudah mati. Jangan tanyakan pria itu lagi, oke?"

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Padahal sebenarnya aku tahu dia hanya tak ingin aku tahu kalau mereka sudah bercerai. Dari hari itu, aku telah membulatkan tekad untuk menjadi yang terbaik. Aku ingin membuat mama bangga denganku. Aku ingin mengobati lukanya satu per satu. Aku akan bawa keluar dari jerat bebannya.

"Laras, mama mau kamu nurut sama mama, ya? Mama cuma punya kamu sekarang."

Aku selalu menurutinya, les bahasa asing, les musik, sampai les memasak. Oke, yang terakhir aku tidak sanggup melakukannya. Aku benar-benar tidak punya skill memasak sama sekali.

Mengenang betapa kerasnya hidup kami dulu membuatku menitikkan air mata. Banyak pertanyaan yang muncul silih berganti di kepalaku.

Apa aku salah?

The CEO Stole My Bra! ✓Où les histoires vivent. Découvrez maintenant