Bab 67. Pertengkaran

79.2K 8.8K 1.8K
                                    


Selamat Membaca

------------------------------------------------------

Bab 67. Pertengkaran

SAMUEL tidak ingat kapan terakhir kali ia menginjakkan kakinya di gereja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SAMUEL tidak ingat kapan terakhir kali ia menginjakkan kakinya di gereja. Rasanya lama sekali. Tapi, Katedral masih sama. Tidak ada yang berubah. Bangunan bergaya neo-gotik itu masih berdiri kokoh, berdampingan dengan Masjid Istiqlal. Burung-burung gereja yang biasanya hinggap di pelataran juga masih ada dan melintas.

 Burung-burung gereja yang biasanya hinggap di pelataran juga masih ada dan melintas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada banyak hal yang terekam disini. Tersusun rapi membentuk memori dan sekarang... satu-persatu kenangan itu bermunculan.

Dulu, ia sering ke tempat ini bersama keluarga kecilnya. Sekedar ibadah minggu ataupun merayakan hari-hari besar di agamanya. Bahkan, pertemuan pertamanya dengan Tiara juga disini. Cinta pertamanya.

Benar kata orang soal sepi, hujan, dan senja yang selalu berhasil membuat diri kilas balik lalu berhenti di masa lampau. Buktinya, Samuel merasakan itu sekarang. Ketika Jakarta diguyur hujan, dan semburat senja masih bertengger di langit barat ia terjebak di ruang gereja. Duduk di kursi paling depan tepat di depan altar.

Samuel merasa lebih tenang meskipun kepalanya mulai sibuk dengan segala hal. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Kalung Rosario. Ia masih ingat, kalung itu ia dapatkan dari mamanya ketika berumur lima tahun.

Dengan tangan bergetar, Samuel memakainya. Ia memejamkan mata kemudian mulai berdoa. Jika saja ia lebih kuat menahan, mungkin isakannya tidak akan terdengar menyedihkan.

Tapi, bukankan setiap orang akan terlihat rapuh ketika merasa berhadapan dengan Penciptanya?

Katedral saat itu sepi. Hanya ada Samuel sendiri. Tidak heran jika hening menenggelamkannya ke dalam banyak hal. Kenangan, penyesalan, dan waktu yang semakin bergulir cepat.

Hujan yang mulai reda dan senja yang perlahan terkikis malam benar-benar menemani Samuel hingga selesai. Lelaki itu mengusap wajahnya kemudian mengembuskan napas.

RetrouvaillesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang