"Hei." Mungkin karena terbawa suasana, suara Derrel jadi melembut, dan tanpa sadar hal itu membuat hati Atilla menghangat. "Jangan nangis," lirih Derrel dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.

Sekalipun ia tak pernah ada niatan untuk menyakiti Atilla. Kenyataan bahwa orang yang telah menyakiti Cephalotusnya adalah ibunya sendiri, menorehkan rasa kecewa yang mendalam di batinnya. Sedikit banyak, Derrel menangis karena itu.

Di tempat lain, Atilla mengembang-kempiskan hidungnya agar lebih mudah bernapas, lalu dengan susah payah menyeka air mata yang tanpa hentinya berderai. "Terus, kita gimana? Jalanin hubungan yang terlarang itu nggak gampang, Rel. Kita harus pikirin dan putusin ini baik-baik. Aku nggak mau kamu dianggap anak durhaka kayak aku."

Seketika, tangan Derrel kembali mengepal kuat. Matanya semakin memerah, menatap lurus ke depan dengan tajam. "Apapun itu, aku nggak peduli lagi, Til. Karena setelah ini, aku bukan lagi bagian dari keluarga ini."

"Ma-maksud kamu?"

"Aku mau pergi. Jauh. Kemanapun, asalkan jauh dari sini."

"Kamu mau ninggalin aku?"  Atilla merasa dadanya seperti diterjang beribu ton beban berat saat kalimat itu keluar dari mulutnya.

"Kamu ikut aku. Kita kabur. Bareng," jawab Derrel dengan suara seraknya.

"Rel, jangan bikin ini makin susah..,"

"Dari sini kamu bisa buktiin kalo kamu memang nggak main-main sama aku, Til. Aku memilih terbuang dari keluarga. Kamu tahu alasannya apa. Dan kamu tega banget kalo nggak ngelakuin hal yang sama buat aku."

"Rel, please, jangan kayak gini...," lirih Atilla lagi.

"Aku nggak maksa kamu. Aku cuma mau kita bisa milikin rasa bahagia sendiri. Aku capek mikirin perasaan orang. Atilla, kamu ikut aku, ya?"

"Terus sekolah kita gimana? Masa depanmu gimana? Kamu tuh pinter. Sayang banget kalo putus sekolah. Apalagi cuma karena aku!"

Derrel tekekeh kecil. "Masa depan? Gini ya, Til. Aku nggak lagi pengen gombalin kamu. Tapi bagi aku, masa depan itu tentang kebahagiaan. Dan kamu... satu-satunya alasanku bahagia."

Cowok itu tesernyum samar, bersamaan dengan matanya yang tak henti menitikkan bulir air mata. Ia yakin jika seandainya suasananya tak seperti ini, sudah pasti Atilla akan menertawakan kalimatnya.

"Tetep aja, Derrel. Aku nggak abis pikir kamu bakal punya ide segila ini."

"Emang cuma kamu yang bisa jadi orang gila?" Derrel tertawa, lalu memindahkan ponselnya ke telinga lain.

"Atilla, masa depan yang aku perjuangin nggak melulu tentang profesi, atau pekerjaan. Masa depan itu kamu. Yang sekarang ini aku perjuangin adalah cara agar aku selalu satu-satunya buat kamu. Ayo. Ikut aku, ya? Kita mulai semuanya bareng-bareng. Tabungan aku masih cukup buat transport kita, pun buat biaya hidup beberapa bulan ke depan. Sisanya, aku bakal nyari kerjaan."

Bisa Derrel rasakan bahwa Atilla membuang napas berat.

"Terus, kita ke mana?"

"Adalah pokoknya. Kita ke luar kota. Urusan tiket dan tempat nginap sementara aku usahain kelar malem ini, Kamu siap-siap aja, nanti aku telpon lagi kalo semuanya udah siap. Jangan bawa baju banyak-banyak, kalo soal pakaian bisa beli nanti. Oke?"

CephalotusWhere stories live. Discover now