Atilla sempat terbungkam lama sebelum ia mencebik kesal. "Tetep aja ini nggak adil! Masa gue nggak boleh sama Derrel cuma gara-gara papanya pernah pacaran sama mama?!"

"Bukan karena itu hubungan kalian ditentang. Mama sama Tante Meira udah sepakat. Keluarga kita sama keluarga mereka nggak akan pernah bersinggungan lagi. Kalau lo sama Derrel pacaran, itu artinya kalian ngelanggar kesepakatan itu. Mama cuma nggak mau, kalo Tante Meira bakal berpikir dia deketin kamu sama Derrel, supaya Mama sama Om Rendy bisa deket lagi. Ngerti nggak, sih?"

"Tetep aja, Kak!" Suara Atilla naik satu oktaf. "Tetep aja ini nggak adil! Gue sama Derrel nggak tau apa-apa tentang masalah mereka, tapi kita berdua diminta buat saling menjauhi, seolah-olah kita berdua juga bersalah atas ini."

Aletta terlihat memijat pelipisnya pelan. Masalah yang dihadapi adiknya rupanya tak main-main. Apalagi, jika Atilla benar-benar mencintai Derrel sepenuhnya, masalah ini akan semakin runyam.

"Gini Dek. Kalo lo bener-bener sayang sama dia, perjuangin. Tuhan nggak buta. Kalo emang kalian saling menerima satu sama lain dengan tulus, kalo kalian sabar menunggu, ini semua pasti ada hikmahnya."

Atilla lagi-lagi menggeleng. "Kapan? Gue udah capek! Capek banget!"

"Terus kamu mau gimana lagi? Kamu nggak ada pilihan lain selain sabar, dan tunggu keajaiban dari semesta."

Atilla menatap lurus ke depan. Darahnya berdesir hebat ketika akan mengucapkan kalimat yang sukses membuat Aletta mematung seketika.

"Gue udah nggak peduli lagi, Kak. Gue cinta sama Derrel. Gue nggak mau sia-siain orang yang gue tahu  cinta juga sama gue. Kalo emang dengan melawan semesta gue sama Derrel bisa bareng, gue siap untuk itu."

• • •

Derrel melempar vas bunga yang ada di atas meja kecil samping kasurnya hingga pecah berkeping. Bunyi pecahan beling seolah mewakili emosinya yang sedang meluap-luap. Urat di pelipisnya pun semakin menguatkan bahwa laki-laki itu sedang tidak baik-baik saja. Derrel tak pernah mengingat kapan terakhir kali dirinya berada dalam keadaan seperti ini, yang jelasnya, ia benar-benar menangis sekarang.

Dering ponselnya membuatnya terkesiap. Sesaat, ia berusaha mengatur napasnya sebelum akhirnya menerima telepon yang ternyata dari kekasihnya.

"Kamu nggak apa-apa?" Bukannya kalimat sapaan, Derrel justru langsung menyembur Atilla dengan pertanyaan.

"Kok ngomongnya gitu?" tanya Atilla dari ujung telepon.

Derrel menyeka sisa air yang menitik di ekor matanya saat bibirnya tak sengaja mengulas senyuman kecil. "Gitu gimana?"

"Kok manggilnya pake... kamu?"

Cowok itu terkekeh, seolah dari suaranya saja, ia sudah tahu bahwa di ujung sana Atilla sedang salah tingkah. "Ya... pengen aja. Kamu ngikut, ya?" pinta Derrel.

"O-oke. Tapi aku serius pengen nanya! Jangan dialihin. Kamu gimana? Kena hukum lagi nggak?"

Derrel terdiam. Tak sengaja telinganya mendengar Atilla yang tengah menahan isakannya. "Til... kamu nggak lagi nangis, kan?"

"Nggak usah ditanya!" pekik cewek itu dengan suara bergetar. Seketika, terdengar tangis Atilla pecah dari sana. Dadanya sesak, pikirnya membanjiri pipi  dengan air matanya adalah cara terbaik untuk melapangkan sesak dalam dada. "Aku nggak pernah merasa sebersalah ini. Ka-kamu makin sering kena masalah gara-gara tingkah aku yang nggak masuk akal. Emang bener kata Mama kamu. A-aku... bukan cewek baik-baik."

CephalotusWhere stories live. Discover now