55. Waiting Love

4.2K 629 14
                                    

Walaupun tak secara langsung, Mike bisa merasakan tatapan semua orang yang memperhatikan reaksinya. Ia berusaha tenang. Tapi sulit baginya untuk menyembunyikan keingintahuannya. Bahkan ia tak bisa berhenti memeriksa ponselnya berulangkali.

Seharusnya malam ini, di hadapan keluarga dan sahabat-sahabat dekat mereka berdua, Mike melamar Love secara resmi. 

Di suatu tempat, ia telah menyiapkan kejutan yang indah untuk gadis tercintanya.

Tak ada yang salah dengan janji mereka pagi tadi. Tapi itulah terakhir kalinya Love merespon. Setelah itu, tak ada seorang pun yang tahu di mana Love. Tidak juga ayah dan manajernya. Semua mengaku tidak tahu.

"Aku hanya tahu Love ingin memberi kado spesial untuk Pak Mike," kata Leni dengan nada kuatir.

"Lalu? Apa kau tau dia di mana?" tanya Mike ketika Leni dan Alex menemuinya di taman belakang rumah Mike.

Leni menggeleng. "Hadiah itu dibawa sendiri oleh Love, Pak. Dia bilang ingin memberi kejutan untuk Pak Mike. Ia juga bilang kalo hanya dia aja yang tahu tempat yang paling tepat untuk memberikan kado itu. Love menelpon saya tadi pagi. Mengingatkan untuk merahasiakan dari Bapak. Itu saja, Pak."

Mike tak peduli soal kado yang akan diberikan Love. Ia hanya ingin tahu keadaan Love sekarang. Ia kuatir terjadi sesuatu pada gadis itu.

Semua orang bingung. Tapi mereka berusaha menahan diri. Bahkan sajian makanan prasmanan yang tampak memancing selera, tak sanggup mengalihkan perhatian mereka. Semua orang menunggu.

Di ruang kerja Pak Wijaya, Pak Hadid yang ditemani oleh Pak Wijaya juga mulai menelpon ke teman-teman dan keluarganya. Mencari Love. Di dekat Pak Hadid, Riri tampak sibuk bolak-balik menelpon, dibantu oleh dua asisten yang kebetulan ia ajak malam ini.

Cukup lama Mike berdiri di taman belakang, dengan gelisah. Sampai Riri berlari mendekatinya. Ada senyum tipis terkembang di wajahnya. "Love di rumah temannya, Pak!"

"Siapa nama temannya itu?" tanya Mike tak lagi ragu mendekati Riri.

Riri menatapnya. Selama ini ia tak pernah menyukai pria tampan yang wajahnya nyaris tak pernah tersenyum itu. Tapi saat Leni mengundangnya dan mengatakan kalau malam ini Mike akan melamar Love secara resmi, nilai pria itu di matanya sudah naik berkali lipat. Ia jelas berubah haluan.

"Teman akrab Love yang saya tahu itu hanya Wina. Itu teman sebangkunya di sekolah. Alamatnya... " Riri menunduk, memilih fitur berbagi lokasi dan mengirimkannya pada Mike. "... Itu alamatnya. Wina juga sudah bilang Love di sana."

Mike melihat ke ponselnya sebelum mengangguk. "Terima kasih."

"Pak... Love itu masih remaja, kadang dia juga emosional. Tolong bersabar menghadapi anak itu! Saya... " kata Riri ragu-ragu.

Merasakan kekuatiran Manajer Love itu, Mike memasang senyum tipis di wajahnya, untuk menenangkan. "Saya tahu."

Tanpa sempat menyantap makan malam, setelah berpamitan dengan kedua orangtuanya dan Ayah Love, Mike meninggalkan pestanya sendiri. Semua orang memandangi kepergian pria itu dengan simpati. Bahkan Jordy, yang malam itu ditugasi memegang bunga, sudah tertidur dalam pelukan neneknya. Kelelahan.

Harus diakui, Mike selalu bingung setiap kali menghadapi Love. Gadis itu sering bertindak tak terduga dan membuat Mike kuatir. Love jarang memikirkan bahaya yang mungkin terjadi padanya. Jika dia emosi, gadis itu hanya akan menuruti hatinya.

Tapi Mike tak mengerti, kenapa harus sekarang? Kenapa saat hubungan mereka begitu baik? Saat Love baru saja berhasil mendapatkan kesempatan untuk kuliah?

Rasanya tidak ada yang salah. Semuanya justru terlihat sempurna. Mike bahkan merencanakan malam ini sebagai malam peresmian hubungan mereka, sebagai tunangan, sesuai keinginan kedua orangtuanya dan Ayah Love.

Tapi apa yang terjadi pada Love sebenarnya?

Sepanjang jalan, Mike tak bisa menyingkirkan pertanyaan yang memenuhi isi kepalanya. Mungkinkah karena perbedaan usia, hingga ia tak mampu memahami pikiran Love? Jika karena itu, Mike akan berusaha memperbaikinya. Ia tak bisa lagi melepaskan perempuan yang telah mengisi seluruh hatinya.

Rumah Wina tak terlalu jauh. Tak sampai setengah jam, Mike telah tiba. Akhirnya setelah beberapa menit mempertimbangkan, ia turun dari mobil. Mengetuk pintu rumah sahabat Love itu.

"Maaf mengganggu malam-malam. Apa Anda Wina? Temannya Love?" tanya Mike begitu melihat seorang gadis muda membuka pintu.

Wina sudah mengenal wajah Mike. Meski mereka tak pernah bertemu dan berkenalan secara resmi, tapi di IG milik Love, beberapa kali wajah pria itu menghiasi postingannya. Hampir semua majalah hiburan online juga pernah memberitakan hubungan mereka. Jadi Wina tak ragu mengiyakan.

"Kalau begitu, Love ada? Bisa saya ketemu dan bicara dengannya?" tanya Mike penuh harap.

Wina menghela napas. "Bukannya saya gak mau, Pak. Tapi Love-nya udah tidur. Dia kayaknya capek banget. Dari tadi tidurnya. Apa perlu saya bangunkan?"

Buru-buru Mike menggeleng. "Tidak perlu! Biarkan saja! Besok saja saya jemput dia lagi. Tolong sampaikan itu saja. Tidak apa-apa. Yang penting dia baik-baik saja. Terima kasih, Wina," ucap Mike datar sambil berbalik. Menuju mobilnya kembali.

Setelah memandangi punggung pria yang berjalan menjauh itu, Wina kembali menutup pintu. Ia melirik ke arah jendela besar ruang tamu. Seseorang berdiri di balik gorden, mengintip keluar. Love.

"Dia udah pergi," kata Wina prihatin. Ia terpaksa berdusta karena Love tak ingin menemui Mike.

Tanpa senyum, Love hanya mengangguk. Dengan wajah muram, ia menggandeng tangan Wina, kembali naik ke kamar sahabatnya itu.

"Kamu gak bisa lari terus, Ve. Kamu harus hadapi dia. Katakan apa yang kamu inginkan! Jangan bikin orang bingung! Apalagi sampai bikin Ayahmu kuatir," kata Wina ketika mereka melangkah menaiki anak tangga.

Love masih tak menjawab, ia hanya mengangguk.

Ia butuh waktu. Hanya malam ini, untuk menenangkan dirinya dulu, sebelum besok menghadapi kenyataan pahit dan mengambil keputusan paling menyakitkan dalam hidupnya.

Mereka berdua tak tahu kalau Mike tak pergi ke mana-mana. Ia tidak pulang atau pergi. Pria itu memilih masuk ke dalam mobilnya, menunggu. Memandangi satu-satunya jendela di lantai dua yang masih menyala, seakan merasakan kalau Love ada di kamar itu.

Sekilas Mike bisa merasakan ada seseorang sedang memandanginya saat tadi ia bertanya pada Wina. Itu pasti Love. Tapi ia tak ingin memaksa. Ia harus sabar. Seperti kata Riri, kadang-kadang tingkah Love sulit dipahami karena ia masih remaja. Mike harus berusaha memahaminya, atau hubungan mereka tak akan pernah berhasil.

Namun, hati Mike tak bisa tenang sebelum masalah di antara mereka jelas. Ia takut gagal. Ia takut kehilangan Love. Ia takut terjadi sesuatu pada gadis itu. Dadanya terasa sesak setiap kali tak bisa melihat dan mendengar suara Love seperti sekarang. Ia merindukan Love.

Jadi kalau ia harus menunggu sepanjang malam, Mike tak keberatan. Lebih baik seperti itu. Ia jadi tak membuang-buang waktu untuk bolak-balik. Toh hanya beberapa jam. Daripada kehilangan kesempatan bertemu. Siapa yang tahu sampai kapan Love seperti ini?

Pria itu memandangi satu-satunya jendela yang masih bercahaya di lantai dua itu. Dengan santai, ia menyandarkan kepalanya, sambil menurunkan sedikit bagian belakang jok. 

Tak lama, lampu kamar di jendela itu mati. Itu artinya sang pemilik kamar pasti sudah tidur. Tapi hanya beberapa detik, cahaya lain menyala. Kali ini cahayanya jauh lebih redup.

Mike tersenyum. Tebakannya benar. Love takut tidur dalam kegelapan, jadi gadis itu pasti tidur dengan lampu menyala. Mendadak hatinya yang tadi begitu sesak, terasa lebih ringan. Setidaknya ia yakin, Love ada di kamar itu.

"Selamat malam, My Love. Have a good sleep," bisik Mike, dengan mata penuh kasih menatap ke arah jendela bercahaya redup.

****


CLBK (Cinta Love Bikin Kesal)  TAMATWhere stories live. Discover now