60. Life Must Go On

4.6K 682 14
                                    

Hari-hari berikutnya, seperti tak ada yang pernah terjadi di antara Mike dan Love. Keduanya kembali tenggelam dengan kesibukan masing-masing. Seperti tak pernah saling mengenal apalagi pernah punya hubungan yang dekat.

Mike tenggelam dengan kesibukan kerjanya di Mahkota Grup, melanjutkan usahanya untuk menyelesaikan masalah resesi yang dialami perusahaan warisan keluarganya itu. Ia harus mengejar waktu karena urusan Jordy juga sudah menanti.

Karena status Jordy, Mike masih harus kembali ke London untuk sementara waktu. Bersama Aniza tentunya. Alex sebagai asisten pribadinya pun ikut.

"Bagus deh! Jangan balik ke sini lagi kalo perlu!" kata Leni sinis ketika Alex memberitahu berita itu beberapa minggu kemudian.

Bibir Alex melengkung. "Aku pasti kembali. Untukmu... Cintaku!" rayunya sembari menyeringai.

"Sssh! Itu tuh... becandaan garing kamu itu bawa saja sekalian." Leni menatap Alex dengan mata bundarnya. "Apa kamu tahu kalau semua orang di gedung ini mengira aku pacarmu?"

Alex mengangguk dengan senyum penuh arti. "Tentu saja! Gue yang bilang."

"Apa!?"

"Gue harus memastikan tidak ada yang merebutmu selama gue di London."

"Dasar bule freak!"

"I know." Alex tetap tersenyum. Dengan tiga kali langkah ia berdiri tepat di hadapan Leni. "I really love you, Len. I don't know how to say so you can believe me. But... it's true... I love you," bisik Alex. Tak ada seringai jahil atau senyum mengejek di wajahnya. Hanya wajah yang tampak serius.

Bisikan itu sangat jelas di telinga Leni. Mereka begitu dekat.

Leni ingin sekali percaya. Tapi ia takut. Takut merespon dan ternyata semua hanya satu dari rencana Alex untuk mengusilinya. Namun, ia tak berani bergerak. Antara percaya dan tidak. Antara ingin menerima dan menolak.

"Aku mencintaimu, Leni. Aku tahu itu sulit kamu percaya. Tapi aku tidak ingin seperti Mike. Aku gak mau seperti dia yang bahkan gak bisa ngomong apa-apa. Jadi kalau kamu mau marah, marahlah sekarang. Hanya saja, aku akan bilang lagi nanti saat kembali, sampai kamu yakin dan mau nerima aku. Maafkan aku, Len! Yes, maybe I am freaking bule just like what you said, but it's true.... I love you, Honey!" kata Alex dengan bahasa seformal mungkin. Berusaha agar ketulusannya benar-benar sampai.

Leni tak bisa menyembunyikan tangannya yang gemetar. "Stop, Lex!"

"Aku akan berhenti, Len. Tapi serius... semua yang aku katakan itu benar. Please consider it!" Lalu pria itu mundur dan berbalik tanpa menoleh lagi, kembali ke ruangan Mike, meninggalkan Leni yang masih berdiri bingung.

Selama ini Leni selalu menghadapi semua hal dengan tenang. Tak ada yang bisa mengusiknya. Ia terbiasa hidup mandiri dan terlatih untuk mengambil keputusan sendiri. Tapi setelah Alex hadir, ia bahkan kebingungan memutuskan untuk memakai baju apa hari ini agar bisa terlihat lebih baik di hadapan pria itu. Apalagi sekarang... untuk menjawab pertanyaan itu.

Bisakah ia bertanya pada Love?

Tapi Love sekarang sibuk dengan kuliahnya. Beberapa minggu terakhir, setiap kali Love menelponnya, gadis itu selalu bicara tentang kampusnya. Tentang tempat kostnya. Tentang teman-temannya. Itupun tak lama, sebelum telepon berakhir tanpa terasa. Bahkan seringkali Love atau dirinya sama-sama tertidur saat tengah mengobrol.

Lalu sekelebat ide muncul di kepala Leni dan senyumnya pun merekah. Tiba-tiba ia terpikir sesuatu. Tak ada salahnya mengunjungi Love ke tempat kostnya. Bukankah selama ini yang selalu ditawarkan Love padanya? Mungkin saja, kehidupan kampus yang segar itu bisa mengembalikan otak waras Leni.

"Lu sudah ngomong sama Leni?" tanya Mike tanpa mengalihkan tatapan dari layar monitor begitu Alex masuk.

"Of course. Gue siap sekarang. Lu gimana? Udah beres dengan Sam?" tanya Alex.

Mike mengangguk. Ia menghentikan ketikannya dan menoleh pada Alex. "Sam udah nyiapin Legal Team. Udah fix. Tinggal nunggu kita aja. Aniza gimana? Dia sudah siap juga?"

Alex mengangguk. "Lu menahannya terlalu lama, Mike. Gue benar-benar gak yakin tuh cewek gak ada hubungannya dengan keputusan Love."

"Mereka bahkan gak pernah saling ketemu. Untuk apa? Gue hanya perlu menyelesaikan urusan hukum Jordy dan selamanya Aniza bisa pergi dari hidup gue. Pastikan aja semua sesuai rencana! Gue gak mau nanti setelah kita sampe di London, dia nyari-nyari alasan lain lagi. "

Alex terkekeh. "Dengan semua uang yang lu tawari jelas itu gak mungkin. Tapi bagaimana dengan Love? Lu yakin gak nyoba bicara dengannya? Udah hampir sebulan. Mungkin saja Love sudah bisa diajak bicara lagi. Mungkin saja dia hanya emosi atau bingung sesaat."

Kali ini Mike benar-benar mengalihkan perhatiannya pada Alex. Ia menggeleng pelan. "Saat ini belum waktunya, Lex. Love memang harus fokus dulu dengan kuliahnya dan gue juga harus beresin masalah Jordy dan Aniza dulu. Kalau bukan karena Love, gue gak akan... seperti ini lagi. Setidaknya inilah gue. Yang normal seperti biasa," katanya sambil menghela napas.

Tawa kecil terdengar. Alex menunjuk ke arah kaleng kecil yang tergeletak di tepi meja kerja Mike. "Normal? Elu normal? Which side? Which one? Permen itu aja cukup buktikan kalo lu something, Mike. Itu rasa yang paling lu benci sedunia. Sekarang hampir tiap sejam lu makan permen itu. Itu normal versi lu?" sindir Alex tanpa ragu.

Mike tak menjawab. Hanya menoleh sedikit pada kaleng permen itu. Untuk satu ini, Mike juga tak mengerti.

Dulu ia bahkan tak bisa mencium aroma durian tanpa sakit kepala. Sekarang aroma itu justru menjadi kekuatannya.

Beberapa minggu lalu, ia tiba-tiba dihinggapi keinginan untuk memakan permen rasa durian yang pernah diberikan Love secara paksa dengannya. Bersama Alex, mereka mencari di beberapa swalayan. Mike tak ingat nama merek permen itu, tapi ia mengingat bentuknya. Dan setelah mencari beberapa hari di beberapa swalayan dan supermarket, ia menemukannya. Sejak itu, Mike tak bisa lepas dari permen rasa durian itu. Mike bahkan yakin, ia mungkin sudah dalam kecanduan.

Tapi bagaimana lagi? Ini satu-satunya cara agar ia tak mencari Love terus. Aroma itu seperti mengingatkan Mike pada manis bibir gadis itu. Aroma yang mampu menenangkan kegelisahan dan kerinduannya.

Hanya dengan cara ini, Mike masih bisa menganggap bahwa Love hanya sibuk dan tidak ada masalah di antara mereka. Semua baik-baik saja. Mereka hanya berpisah sejenak.

"Sudahlah, lo memang harus beresin dulu soal Jordy. Nanti gimana lu sama Love, gue akan bantu." Suara Alex mengalihkan pikiran Mike.

"Tentu saja! Itu salah satu tugas lu."

"Apa perlu rencana strategis buat ini, Mike?"

Mike menyandarkan punggungnya. "Strategis? Hmmm... Entahlah. Lu tahu, gue kadang-kadang lamban berpikir. Tapi gue gak ingin salah langkah. Mungkin nanti."

"Bro, gue benar-benar berharap lu bisa bahagia. Gue yakin Abang gue, keluarga lu dan bahkan sekretaris yang galak lu di luar sana juga berharap hal yang sama."

Mike tak menjawab. Ia hanya mengangguk, berterima kasih pada dukungan sahabat sekaligus asisten pribadinya.

Walau bagaimana hidupnya dan Love harus berlanjut. Hubungan mereka ada atau tidak. Berakhir atau tetap. Mike tak ingin menangisi dengan kesedihan. Ia tak punya waktu untuk itu. Masih ada Jordy.

*****

CLBK (Cinta Love Bikin Kesal)  TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang