49. Joshua

41 14 2
                                    

Aku punya tebakan jawaban dari teka-teki Topeng Putih. Well, nggak sepenuhnya yakin, sih. Tetapi, setelah menerima klu kedua yang, jujur saja, lebih mirip prank jayus itu, aku sudah memikirkannya sepanjang siang, dan berakhir pada sebuah kesimpulan. Kuharap, kali ini, jawaban itu benar, walaupun aku nggak tahu apa yang bakal terjadi setelah itu. Dilihat dari liciknya Topeng Putih, sih, aku nggak bakal kaget kalau tahu-tahu permainan ini memiliki plot twist, misalnya ada lebih dari satu kandidat yang memenuhi teka-teki, dan psikopat itu tinggal memilih mana yang nggak kami jawab—yang akan menjelaskan mengapa jawaban kami sejauh ini salah semua.

Jam menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh malam. Bryan, yang parno sejak kejadian dengan Sam terakhir kali, akhirnya memajukan jam pertemuan kami menjadi pukul sembilan. Itu artinya, sekarang, aku sudah harus ke kamar Alice.

Bayangan mengenai Bryan membuatku menghela napas panjang.

Aku tahu, aku tidak bisa menghindari percakapan dengannya selamanya. Lagipula, aku juga rindu mengobrol bersamanya seperti biasa. Tetapi, entah mengapa, walaupun sudah berdamai dengan perasaanku sendiri sejak meluapkan emosi kemarin malam, masih ada sesuatu yang terasa mengganjal di antara kami. Aku tidak tahu apakah sesuatu itu dari aku, atau dari dia. Yang jelas, seperti ada kecurigaan dan keraguan yang sulit untuk diungkapkan.

Masih dengan hati berat, aku membuka pintu, dan langsung bertatap muka dengan Gwen.

"Mau kumpul sama IMS?" tanyanya blak-blakan, "Ikut, dong."

Aku mengerjap beberapa kali. Kurasa, aku nggak akan pernah terbiasa dengan kemunculannya yang selalu tiba-tiba seperti ini, lengkap dengan perkataan-perkataannya yang sulit ditebak. Di titik ini, ia bisa saja muncul sambil meledakkan confetti ke mukaku, dan aku nggak akan lebih kaget daripada ini. "Tumben," balasku, berusaha kelihatan santai, "Bukannya kamu masih curiga sama salah satu di antara mereka?"

"Iya," jawabnya ringan, "Justru itu. Kalo ikut, aku bisa merhatiin gerak-gerik mereka. Lagian, udah nggak ada rahasia lagi, kan, yang harus dijaga?"

"Bener juga, sih," aku menyetujui, "Tapi aku jemput Sam dulu, loh, biasanya. Kamu nggak apa-apa ikut? Mau duluan, atau—"

"Nggak apa-apa," potongnya langsung, "Bareng kamu aja."

Aku tidak tahu apa yang seharusnya kupikirkan, tetapi jantungku tiba-tiba berdebar sedikit lebih kencang. Caranya mengatakan itu dan mengabaikan begitu saja fakta bahwa kami akan menjemput Sam, orang yang paling membuatnya gerah dengan kebodohannya, seolah-olah mengatakan bahwa ia mau ikut hanya kalau bersamaku.

Ah, tapi, memangnya kenapa? Sanggahku dalam hati. Benar, dong. Gwen, kan, memang nggak dekat dengan yang lain. Bakal lebih aneh lagi kalau dia nongol di kamar Alice sendirian.

"Ya udah, yuk," ajakku, mengabaikan debaran jantungku yang sama sekali tak beralasan. Detik setelahnya, kami berdua berjalan pelan menyusuri koridor, menuju kamar Sam yang terpaut satu tikungan dengan kamarku.

"Udah baikan sama Bryan?" Gwen tiba-tiba membuka suara.

Aku menggeleng. "Belum," jawabku, "Belum bisa, nih, rasanya. Kayak ada yang ganjel."

"Emang gitu biasanya," balasnya, "Tapi, harus berani, Jo. Kalau nggak, selamanya bakal begini terus. Ngomong ke dia kayak kamu ngomong ke aku kemarin malem. Tell him how you feel. Aku tahu, kamu yang lebih bisa ngalah daripada dia."

"Iya, sih," ujarku, "Tapi, masih ada rasa sebel, gitu, tiap inget kejadian itu."

"That's how conflicts work," balasnya, "Tapi satu-satunya jalan, ya, diomongin langsung sama orangnya. Toh, bukan kamu yang salah."

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameWhere stories live. Discover now