25. Andrew

44 13 0
                                    

Kami menatap ponsel masing-masing dalam diam.

Foto itu adalah foto Kimberly, adik kelas kami, dan Alexa yang tengah disekap entah di mana. Dinding di belakang mereka berdua berupa batu kasar, dan penerangan yang mereka gunakan hanyalah sebuah lampu berwarna oranye yang menyorot ke arah dua orang itu. Mereka seperti berada dalam gua pertambangan.

"Tuh, kan, apa gue bilang." seruku meminta pengakuan semua orang, namun mereka semua hanya bisa menatap ponsel sambil mengheningkan cipta.

"Sialan." umpat Bryan sambil menggenggam ponselnya kuat-kuat. "Seharusnya gue nggak punya pemikiran kalau Topeng Putih bakal nangkep salah satu dari kita. Kejauhan mikirnya, duh."

"Bukan salah lo, Bry. Seenggaknya lo bisa mecahin teka-teki itu." sahut Alice berusaha menenangkannya.

"Tapi dengan jawaban salah." sahut Bryan menekan-nekan kepalanya sendiri, tampak frustrasi.

"Teka-teki itu memang ambigu, sih. Mungkin memang Topeng Putih sengaja membuat kita mikir itu Andrew dengan ngasih petunjuk yang sama persis mengarah ke dia. Soal pemotongan waktu juga, mungkin Topeng Putih tau kita ngomong apa dan mau kita jawab salah." sahut Alice mencoba menghibur.

"Guys, ini sebenernya mereka disekap di mana, sih? Kok kayak di film-film trailer." sahut Sam tidak nyambung.

"Thriller, Sam." koreksi Bryan. "Soal itu, bisa aja Topeng Putih nge-edit background-nya pake aplikasi. Dia nggak bakal ngumumin lokasinya begitu aja ke kita, kan? Mungkin aja itu jebakan lain kayak barusan, toh dia licik banget."

"Iya juga, sih." timpal Alice dengan nada putus asa.

"Kalian nggak merasa kasus ini lama-lama makin berat buat kita selidiki?" tanyaku sambil menghela napas panjang.

"Maksud lo?" tanya Bryan sewot, merasa kemampuan detektif gadungannya diragukan.

"Ya maksud gue, permainan ini, dan Topeng Putih. Kayaknya bajingan itu terlalu pinter buat kita tangkep. Dan bisa jadi dia lebih kuat dari gue—dari kita semua. Jadi..." aku menggantungkan kalimatku di udara, sedikit ragu dengan apa yang ingin kuucapkan. "Jadi, kenapa nggak kita serahin ini ke pihak berwajib aja? Gue tahu Pak Stenley selalu ngehalangin polisi ke sini, tapi kalo kita geret langsung polisi ke sini atau detektif atau siapa, dan nunjukin foto ini, pasti mereka bakal bantu, kan?"

"Lo sadar, kan, kalo Catherine, Alexa, dan Kim masih ada di tangan bajingan itu dan bakal langsung digorok kalau kita lapor ke pihak berwajib atau pihak lain selain IMS?" tanya Bryan.

"Ya..." Aku menggantungkan kalimat di udara, lagi-lagi ragu. Tapi, rasa tidak nyaman di hatiku dan rasa gerah akan kasus tumbal tahunan ini mendorongku untuk mengungkapkan lanjutannya. "Kalian sadar nggak, sih. Mereka walaupun belum bener-bener dibunuh bakal dibunuh atau dilukai juga. Walaupun untuk sekarang, Topeng Putih ngomongnya nggak bakal dibunuh, tapi apa kita bisa percaya omongan bangsat itu? Maksud gue, mending kita korbanin yang udah ketangkep—"

"Lo gila?" di luar dugaan, Alice menyahut sengak. Aku langsung terkesiap. "Lo mau ngorbanin orang-orang yang jadi korban demi diri lo sendiri?" tambahnya lagi, kali ini sambil berdiri. Baru kali ini aku melihatnya berapi-api, wajahnya merah padam dan tangannya dikepalkan di samping badan.

 Baru kali ini aku melihatnya berapi-api, wajahnya merah padam dan tangannya dikepalkan di samping badan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bukan gue sendiri, tapi belasan, bahkan puluhan, nyawa lain. Tiga nyawa nggak begitu berarti, dibanding belasan, kan? Maksud gue, Topeng Putih nggak akan berhenti sebelum ketangkep, dan tim ini jelas-jelas kalah jauh dari psikopat profesional yang sampe berani beli alat pengubah suara itu." sahutku, tidak paham dengan jalan pikir mereka. "Dia aja nggak ngomong, loh, permainan ini mau sampe kapan dan sampe berapa korban."

"Gue tahu Alexa bukan pihak yang bakal lo selametin, apalagi Kim yang bahkan lo nggak kenal. Atau Catherine? Gue nggak tahu lo anggep dia apa. Tapi bayangin kalo yang saat ini disekap di sana adalah Willy, Rey, dan Fellicia, lo masih bakal menyerah kayak gini?" timpal Bryan.

Aku menghela napas panjang. Apa gunanya ia menanyakan pertanyaan yang tidak mungkin terjadi itu?

"Lo mau ngomong apa pun juga, Willy nggak mungkin bangkit dari kubur. Lo sendiri juga tahu dia dibunuh karena mau mengkhianati partner-nya. Lagipula orang-orang ini nggak punya alasan untuk dibunuh, paling-paling hanya dilukai, masuk rumah sakit, sembuh: polanya gitu aja. Nggak ada buktinya juga Topeng Bangsat beneran mau ngebunuh korban, kan?" ujarku sambil menarik napas panjang, berusaha menahan rasa sakit yang masih sering muncul di dalam dadaku. "Gue cuma mau Topeng Putih cepat ditangkep supaya nggak muncul Willy-Willy lain di sekolah ini. Whatever it takes."

"Apa jaminannya mereka nggak bakal dibunuh? Kayak yang lo bilang, Willy sekarang sudah dikubur, nggak bernyawa. Apa jaminannya korban-korban yang kini ada di tangan Topeng Putih nggak bakal nyusul almarhum?" sahut Bryan, membuatku membisu di tempat.

Aku melirik ke arah Alice yang juga tiba-tiba diam seribu bahasa. Ia menggeleng sambil memejamkan matanya. Air mata menggenangi matanya namun ia tersenyum, senyum meremehkan. "Gue nggak nyangka lo sebenernya orang kayak gini, Ndrew. Gue kira lo bisa lebih baik dari ini."

Begitu mengatakan kalimat yang langsung menancap di hatiku bagai belati, ia keluar dari kamarnya sendiri.

"Lo goblok." kata Bryan sambil menunjuk wajahku dari dekat sebelum mengejar cewek itu. Sok pahlawan, seperti biasa.

Kini, tinggal tersisa kami bertiga dalam kamar Alice. Rosa tampak pura-pura sibuk mengutak-atik ponselnya, dan Sam, si bodoh itu, malah memilin-milin celananya sendiri. Aku segera keluar dari kamar pengap itu, mencari udara segar. Dua sosok yang kukira masih berada di sekitar sini sudah tidak lagi ada di lantai empat.

Apa aku sudah salah bicara?

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang