82. Joshua

29 11 0
                                    

Ada sepuluh menit aku hanya berputar-putar di lantai satu, berusaha mencari di semua sudut yang bisa kutemukan. Aneh, sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang di sekitarku. Padahal, aku berani bersumpah, bunyi langkah kaki pelan itu nyata, dan pemiliknya kemungkinan besar adalah sosok lemah sandera pertama yang sedang kami cari-cari.

Langkahku akhirnya berhenti di lorong tempatku mendengar bunyi itu pertama kali, pertanda aku sudah membuat putaran penuh untuk kesekian kalinya. Suasana sunyi senyap. Aku hanya bisa mendengar bunyi samar gema mengerikan yang timbul karena kekosongan tempat ini. Mataku memandang sekitar dengan awas sambil terus bertanya-tanya dalam hati.

Apakah aku sedang membuang-buang waktu?

Tetapi, memangnya, aku bisa naik begitu saja dan menolong yang lain dengan kostum seperti ini? Yang ada, aku bakalan ikut disabet pisau lipat oleh Bryan, yang selalu waspada, atau Andrew, yang gegabah dan meledak-ledak. Lagipula, aku percaya dengan kemampuan bertarung mereka berdua. Mereka seharusnya bisa melindungi Sam dan yang lain, mengingat pada pengejaran terakhir bersama almarhum Willy, mereka juga lah yang berhasil memojokkannya ke rooftop dan mengungkap identitasnya.

Benar. Aku hanya harus fokus mencari sanderanya.

Aku sudah hendak beranjak pergi untuk memutari lantai sekali lagi saat sekilas, mataku menangkap sesuatu di tembok, di balik pilar yang kugunakan untuk bersembunyi beberapa waktu lalu. Aku membelalakkan mata seketika.

Apakah itu…

Aku mendekat perlahan dan mengamati benda itu, lalu segera menyadari bahwa dugaanku benar: itu adalah sebuah pintu tersembunyi. Saking fokusnya aku pada tempat lain, aku tidak menyadari bahwa suara yang kudengar tadi mungkin saja berasal dari jarak yang lebih dekat daripada perkiraanku.

Aku memantapkan tekad dan mendorong pintu itu terbuka, menyelipkan tubuh ke balik pilar dan masuk ke dalam ruangan itu. Hal pertama yang terlintas begitu otakku berhasil memproses apa yang dilihat oleh mataku di ruangan itu adalah: hah?

Di hadapanku, terbentang tangga semen yang mengarah ke lantai atas, lengkap dengan pegangan berupa besi berkarat yang menjijikkan. Ini, tidak salah lagi, adalah ruangan tangga darurat. Tetapi, kenapa ruangan seperti ini pintunya tertutup pilar besar? Apakah ini semacam kesalahan arsitektur?

Gerigi-gerigi otakku langsung berputar dengan cepat. Kalau para Topeng Putih tahu ada tangga darurat seperti ini, mereka pasti akan memanfaatkannya. Skenario paling masuk akal adalah bahwa mereka menggunakan tangga ini untuk naik-turun lantai tanpa ketahuan. Tetapi, firasatku mengatakan, hal itu kurang tepat.

Suara langkah kaki tadi itu… aku yakin adalah milik seorang sandera, dan asalnya dari sini.

Dengan penuh kewaspadaan, aku menaiki anak tangga menuju lantai dua. Begitu tiba di sana, aku melongok ke luar melalui jendela kecil di pintu, dan langsung menyadari bahwa pintu menuju ruang tangga darurat di lantai ini sama sekali tidak tertutup pilar atau apa pun. Pintu yang satu ini terletak lebih ke kiri, sehingga berada tepat di sebelah pilar dan bisa tampak dengan mudah.

Benar, kan, batinku, Itu cuma kesalahan arsitektur di lantai satu. Memang bangunan yang aneh. Pantas saja proyeknya mangkrak.

Berarti, Topeng Putih tidak mungkin memanfaatkan tangga ini sebagai jalur rahasia.

Akhirnya, aku pun memutuskan untuk keluar dan mengecek lantai dua. Baru membuka pintu dan berjalan satu langkah, ponsel di saku jubahku bergetar panjang. Aku buru-buru masuk kembali dan mengeluarkan benda itu dari saku. Dahiku mengernyit saat menyadari bahwa itu adalah panggilan masuk dari Sam.

Aku menahan napas. Haruskah kujawab panggilan ini? Kalau tidak kujawab, bagaimana kalau bocah itu berada dalam bahaya?

Aku menekan tombol jawab dan menempelkan ponsel di telinga.

“Halo?” sapaku, “Kenapa, Sam?”

“Josh, hah… lo di mana?” Sam langsung menyahut dengan suara terengah-engah, membuatku ikut panik, “Hah… Lo di mana, Josh? Gue di lantai lo! Gue… hah… mau bareng lo aja! Topeng Monyet di atas, ngejar-ngejar… hah… gue.”

Mataku terbelalak. Mampus.

Aku jelas tidak bisa bertemu dengannya saat ini. Tetapi, kalau dia dalam bahaya, aku mau-tidak-mau harus melepas kostum dan datang. Sayangnya, aku tidak membawa tas atau apa pun yang bisa kugunakan untuk menyimpan jubah dan topeng ini. Saat berangkat, kedua benda ini disimpan di tas Gwen, yang sekarang dibawanya pergi. Meninggalkannya di sini sepertinya bukan pilihan bijak.

“Sori, Sam, gimana? Putus-putus!” balasku, mengeluarkan kemampuan aktingku yang paling meyakinkan, berusaha mengorek lebih banyak informasi mengenai keberadaan dan kondisi Sam saat ini, “Yang lain? Yang lain mana?”

“Gue. Di. Lantai. Lo!” ulangnya kata-per-kata, “Lo di mana? Andrew sama Bryan masih gelut nggak jelas sama Topeng Monyet. Gue kabur. Tadi ada Alice, tapi ilang anaknya. Takut, gue, Josh.”

Mendengar jawaban itu, aku langsung mengembuskan napas lega. Itu berarti, Sam aman. Topeng Putih tidak mungkin mengejar-ngejarnya kalau sedang sibuk bertarung dengan Andrew dan Bryan. Aku tidak perlu menemui dan menolongnya detik ini juga. Tetapi… kasihan juga. Dia pasti ketakutan sekali saat ini.

Aku menghela napas panjang. Apa boleh buat? Aku sudah berkomitmen. Mungkin, aku bisa menjaganya dari jauh nanti. “Apa, Sam?” aku pura-pura tuli. “Pu—tus-put—us nih. Gue— nger— ngomong apa. Lo—”

“Hah? Lo ngomong apa, sih, Josh? Lagi kumur, lo? Halo?”

“Lo—di ba—gian ma—”

Sambungan telepon langsung kuputus. Aku menghela napas panjang, mulai membenci peranku hari ini dan bagaimana aku harus menjadi pengecut seperti ini. Yang lebih parah lagi, aku sama sekali belum bertemu Topeng Putih, sehingga penyamaranku masih tidak ada gunanya sejauh ini.

Drrt…

Ponselku bergetar lagi; kali ini sebuah pesan masuk dari Gwen.

‘Blm ketemu pintu masuknya. Otw asrama, mau coba lewat sana. Kabarin kalo dpt info.’

Aku mengembuskan napas kasar, lalu memejamkan mata dengan frustrasi. Masalahnya, aku bahkan belum kepikiran cara untuk mengorek informasi itu. Masa, begitu bertemu Topeng Putih, aku langsung bertanya apakah ada sandera yang tidak akan dilepaskan, atau di mana pintu masuk ruangan tempat mereka menyekap sandera-sandera itu di sekolah? Itu, kan, cari mati.

Saat sedang berpikir keras, ponselku berbunyi lagi; panggilan masuk dari Sam. Aku membiarkan benda itu berbunyi tanpa mengangkat telepon.

“Aduh… kenapa, sih, sinyalnya? Kayak di kampung aja!”

Napasku tercekat. Itu suara Sam di luar.

Aku menatap ke luar jendela kecil yang ada di pintu. Dengan ngeri, aku menyadari bahwa bocah itu kini sedang berjalan lurus kemari, dengan napas yang masih sedikit terengah-engah dan wajah memerah seperti tomat. Jantungku langsung berdebar tidak karuan. Aku bergegas berlari menuruni tangga, berniat turun ke lantai satu. Tetapi, sial, belum mencapai pangkal tangga, bunyi pintu yang didorong terbuka sudah terdengar. Aku pun melompat dengan cekatan dan menyelipkan diri ke bawah tangga, berjongkok sambil menutup mulutku dengan tangan.

Drrt…

Jantungku mencelos. Apakah bunyi getaran ponselku akan terdengar? Buru-buru, aku membenamkan ponsel itu dalam balutan jubah, sambil melirik ke atas untuk mengecek keberadaan Sam.

“Anjir, sinyalnya!” Gerutuan Sam menggema di dalam ruangan, membuatku menahan napas semakin kuat supaya tidak menimbulkan suara. Tidak sekali pun dalam hidupku aku pernah membayangkan bahwa suatu saat, aku akan bersembunyi dari bocah ingusan itu seperti buronan. Tetapi, di sinilah aku—ketakutan sendiri hanya karena mendengar dumelan-dumelannya, yang biasanya bisa dengan mudah kubalas dengan jitakan di kepala.

Situasi itu bertahan selama hampir satu menit. Kemudian, aku mendengar bunyi pintu ditutup, bersamaan dengan menghilangnya berkas cahaya yang berasal dari pintu.

Aku mengembuskan napas lega, lalu mengeluarkan ponsel dengan hati-hati.

Rupanya, sudah ada satu lagi pesan masuk dari Gwen.

‘Ada org di markas taman blkg. Semoga aku bs cari celah masuk.’

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang