17. Alice

52 11 0
                                    

Rasanya menyenangkan dapat berkumpul kembali dengan teman-teman seperti ini.

Hanya saja, pertemuan ini pasti lebih menyenangkan jika tidak diwarnai dengan serangkaian kejadian seperti kecelakaan Catherine dan hilangnya Alexa—yang baru saja Bryan dan Rosa beritahukan sebagai tema pertemuan kali ini.

Aku benar-benar merindukan masa di mana aku berkumpul dengan teman hanya untuk membahas gantengnya idol kesukaan kami, atau sekedar untuk menyalin pekerjaan rumah.

"Jadi, kita sekarang mau ke lab biologi, yang adalah tempat terakhir yang dikunjungi Alexa." Bryan menyimpulkan, mengakhiri pembahasan singkat kami mengenai Alexa. "Atau," sambungnya, "Begitu setidaknya yang kita tahu."

"Sekarang? Tanpa Joshua?" tanya Sam, masih celingukan sejak tadi mencari frenemy-nya—Ternyata, anak itu merasa kehilangan juga kalau Joshua tidak ada. Padahal, kalau Joshua di sini, pasti dia sudah memancing keributan dengannya.

"Joshua belum bisa dihubungi. Kalo kita nggak cepat, takutnya TKP keburu dibersihin sama Pak Bon." sahut Rosaline.

"Lah, kalo labnya dikunci gimana? Nggak besok aja? Lagian, Alexa, kan, ilangnya kemarin." protes Sam, belum menyerah.

"Biasanya lab biologi nggak dikunci, sih. Soalnya, suka ada anak ekskul kimia yang butuh minjem-minjem alat dari sana." kata Bryan.

Sam hanya manggut-manggut sambil mengerucutkan bibirnya. Seandainya aku mengesampingkan fakta bahwa ia sangat menyebalkan dan tengil, cowok itu bisa saja masuk kategori imut bagiku.

"Yuk." sahut Bryan, memandu kami semua keluar dari kamarku menuju sekolah.

Kami berjalan menyusuri keramaian asrama dalam diam, larut dalam pikiran masing-masing. Bahkan Sam pun kini tidak membuka mulutnya yang ceriwis lantaran tidak ada Joshua yang ia ajak berdebat. Keheningan ini membuatku merasa benar-benar tidak nyaman.

"Memangnya, biasanya ada kasus penculikan gini, ya?" tanyaku, berusaha membuka pembicaraan dengan Rosaline.

"Nggak, sih. Biasanya kalau ada... em... percobaan pembunuhan, ya langsung tiba-tiba aja anaknya ditemukan dalam keadaan sudah nggak sadarkan diri gitu." sahut Rosaline.

"Biasanya juga nggak terjadi berturut-turut kayak gini." tambah Bryan. "Cuma satu per tahun, tapi semenjak Fellicia, entah kenapa kasusnya jadi makin rumit."

"Mungkin gara-gara kita mulai penyelidikan ini? Lo nggak inget yang diomongin Benny soal sembilan tahun lalu ada yang mulai penyelidikan trus mereka jadi korban berikutnya itu?" sahut Andrew, membuat jantungku mencelos jatuh ke perut.

Benar juga. Apa itu sebabnya Catherine...

"Lo yakin pembunuhnya berani nantangin Gwen?" tanya Bryan.

"Bener juga. Monster Gwen sama Topeng Putih menang mana, ya?" imbuh Sam.

"Kayaknya... Gwen, deh." sahutku.

"Tapi nggak menutup kemungkinan Gwen pelakunya nggak, sih?" tanya Rosaline. "Maksudnya bukannya gue percaya gitu, sih. Cuma emang sedikit aneh aja, waktu kejadian Rey itu dia yang pertama di TKP. Trus, waktu kejar-kejaran juga dia hilang entah ke mana."

Aku hanya mengangguk kikuk.

Mengerikan juga kalau musuh kami jenius setara Gwen. Apalagi, dia ada di sekitar kami dan bisa mengeksekusi kami kapan pun. Ekspresi datar yang selalu ia pasang pun membuat kami jadi tidak bisa mendeteksi apa yang sedang ia pikirkan.

"Tapi insting gue ngomong kalo Gwen bukan pelakunya, sih. Lagipula dua orang anak umur delapan tahun masa bisa merancang percobaan pembunuhan?" sahut Bryan yakin.

"Kalo itu Gwen, gue nggak akan kaget, sih. Toh, nggak ada orang yang tahu apa yang ada di kepalanya. Lagipula, percobaan pembunuhan berhenti beberapa tahun sebelum yang pertama terjadi nggak, sih? Mungkin aja dia nggak sengaja mencoba bunuh orang sekali, trus jadi suka—"

"Lo kira film psikopat?" Bryan memotong kalimat Andrew sewot.

"Kita udah sampe, tuh." umumku, berusaha menghindari perdebatan sengit antara Bryan dan Andrew yang mungkin akan berimbas pada ketenangan semua orang.

Dan untunglah, kalimat itu bisa membuat perdebatan mereka terhenti. Kami segera masuk ke dalam lab biologi—yang ternyata memang tidak dikunci—dan mulai mencari barang bukti apa pun di sekeliling lab. Aku mulai menunduk ke lantai dan mengintip ke kolong-kolong meja, memeriksa barangkali ada petunjuk yang tertinggal seperti anting Willy saat itu.

Tring... Tring... Tring... Tring... Tring...

Tepat saat itu juga, mimpi buruk kami bermula.

Tepat saat itu juga, mimpi buruk kami bermula

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
[COMPLETED] Curse of the Suicide GameWhere stories live. Discover now