33. Sam

43 10 0
                                    

Aku nyaris melompat terjatuh dari kasur saat mendengar bunyi ponsel bergetar di samping bantal. Insting pertamaku, selain berteriak "Babi ngepet, ayam, ayam! Ayam?" (yang, belakangan kusadari, nggak masuk akal sama sekali), adalah mengecek jam yang terpasang di meja belajarku.

Jam berapa ini? Apakah sudah waktunya berkumpul? Apa ada waktu untuk makan dulu?

Aku menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas, dan langsung terbelalak kaget.

The heck. Ini benar-benar jam dua belas kurang seperempat atau jamku rusak, sih? Atau malah mataku yang rusak? Ah, yang itu nggak mungkin. Penglihatanku, kan, selalu cemerlang.

Tapi... masa aku tidur sembilan jam lebih? Nggak masuk akal. Memangnya aku habis perang dengan Pak Asep, apa? Sampai tepar begitu. Padahal, seingatku, aku sudah pasang alarm, dan suara bentakan Pak Tanto yang kujadikan bunyi alarm biasanya nggak pernah gagal membangunkanku—kadang malah sukses membangunkan Jeffrey juga lantaran biasanya diikuti oleh teriakan horor super keras yang berasal dari mulutku. Nanas Busuk juga biasanya datang ke kamarku sebelum diskusi untuk membangunkan, tetapi tadi, aku nggak dengar ketukan dan suara khasnya yang berteriak, "Bangun, woy! Gue tinggal, nih!"

(Omong-omong, aku sempat galau memilih antara suara si Nanas atau Pak Tanto sebagai bunyi alarm, tetapi kuputuskan bahwa aku nggak siap mendengar dua suara sumbang Nanas koor di telingaku sesaat setelah membuka mata—walaupun koor suara Nanas dan Pak Tanto juga nggak lebih baik, sih, kalau dipikir-pikir, tapi setidaknya ada suara satu dan suara duanya.)

Kampret. Apa Nanas Busuk sengaja meninggalkanku? Atau tidurku yang terlalu pulas sampai nggak sadar ia mengetuk pintu?

Aku bergegas mengganti celana, berpikiran untuk buru-buru menyusul yang lain ke kamar Alice. Tetapi, saat aku menyambar ponsel di atas kasur, aku baru menyadari bahwa pesan yang tadi masuk berasal dari Topeng Monyet—aku memang menyimpan nomornya di daftar kontak supaya nggak kena serangan jantung kalau tiba-tiba melihat pesan nggak jelas darinya. Melihat itu, tentu saja, aku penasaran mati. Segera kubuka pesan itu dan kubaca isinya.

'Tik tok... Waktu sudah hampir habis, kalian punya lima menit untuk menjawab siapa korban selanjutnya.'

Mataku mengerjap beberapa kali. Hah? HAH?

Mendadak, otakku langsung korslet. Kalau ini film kartun, pasti asap sudah keluar dari kepalaku seperti kebakaran. Ini bukannya belum waktunya? Biasanya, deadline jawabannya jam dua belas, kan? Jangan-jangan, jamku benaran rusak? Atau jam yang dipakai Topeng Putih nggak cocok, terus, dia mengira lima menit lagi sudah jam dua belas?

Shit. Shit. Shit.

Aku mengecek lagi waktu penerimaan pesan di ponselku. Tepat jam 11.45. Kulirik jam di meja dan menyadari sudah lewat tiga menit dari waktu itu, tetapi belum ada pesan lain lagi dari Topeng Putih. Apakah itu berarti yang lain belum menjawab?

Ah, goblok, memang. Nanas goblok. Jelas-jelas diskusi nggak bisa berjalan kalau nggak ada aku, soalnya yang lain seperti Bryan dan Rosaline suka kelamaan mikir. Atau jangan-jangan mereka juga ketiduran dan masih ngorok di kasur masing-masing?

Yang penting dijawab dulu, deh, daripada nggak sama sekali.

Siapa, ya, tadi, yang mereka usulkan? Seingatku, ada Luke, Monster Gwen... duh, siapa lagi, ya? Monster Andrew juga atau nggak, sih? Masuk akal, sih, kalau dia termasuk, soalnya Monster Gwen juga ada di dalam daftar. Pastinya sesama monster sama-sama bisa dinominasikan, lah, ya. Toh, kayaknya mereka pernah menyebut-nyebut nama Monster Andrew belakangan ini. Terus... siapa lagi, ya?

Aku menatap jam dengan panik. Kurang satu menit lagi. Rasanya aku hampir mengompol saking gugupnya.

Luke, aku sekilas ingat Bryan bilang nggak mungkin waktu aku menyebutkan soal rambut Sunsilk-nya. Monster Gwen... kalau sampai salah, nanti aku bisa dibunuh karena sudah sembarangan menulis namanya. Monster Andrew...

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameWhere stories live. Discover now