EXTRA #2: DIA SAMA SEPERTIKU

29 6 0
                                    

Empat tahun yang lalu

Seperti biasa, sepulang sekolah aku selalu nongkrong di lapangan bersama anak-anak populer lainnya. Meskipun aku sadar sebenarnya mereka tidak pernah menganggapku ada, tapi dengan terus menguntit mereka, mungkin suatu hari aku bisa menjadi bagian dari grup ini. Setidaknya, itu yang dikatakan oleh sahabatku Kesha, yang belakangan merubah penampilannya menjadi lebih mirip Kak April.

"Eh, gue lihat-lihat, sebenernya Joshua ganteng nggak, sih?" kata Kak Olivia sambil melirik ke arah Joshua yang sedang menonton sahabatnya, Bryan, yang sedang latihan basket.

Menurutku, Joshua mirip denganku. Ia tidak punya aura yang secerah itu untuk menarik perhatian anak-anak lain seperti Bryan, atau Kak April yang selalu jadi pusat perhatian. Tipe-tipe orang populer seperti mereka seperti punya daya tarik tersendiri karena penampilannya yang rupawan, tapi kami, yang dilabeli memiliki penampilan kutu buku seperti berada di dunia yang berbeda.

"Sumpah!? Si Jamur yang sering nempel ke Bryan kan!? Ih, nggak deh buat lo aja." sahut Kak April asal sambil tertawa terbahak-bahak, diikuti oleh anak-anak lainnya. Aku juga ikut agar tidak dipandang aneh.

"Serius, serius. Lo semua dengerin kata-kata gue sekarang deh. Gue ini bisa nilai orang bakal jadi ganteng atau nggak, ya. Lo bayangin aja dia lepas kacamatanya, trus rambutnya ditata sedikit nggak kayak potongan mangkok gitu. Beneran keren, sih." jelas Kak Olivia masih tidak menyerah.

"Astaga Liv... Lo itu sama aja kayak ngomong Rosa bakal jadi secantik malaikat kalo nggak pake kacamata, padahal? Sa, coba lo lepas kacamata, deh." kata Kak Jasmine usil sambil menoleh ke arahku.

Aku mengikuti apa yang ia inginkan, namun entah kenapa anak-anak langsung tertawa setelah melihat wajahku tanpa kacamata. Memangnya ada yang salah dengan wajahku?

"Tuh, kan. Sama aja." sahut Kak Jasmine semangat. "Udah, trims, boleh dipake lagi kacamatanya."

"Ya beda, lah." sahut Kak Olivia terdengar sedikit kesal. "Lo nggak pernah sih, lihat badannya Joshua."

"Duh kok gue jadi merinding ya. Mesum banget sih, lo. Jangan-jangan selama ini kerjaan lo ngintipin cowok-cowok lagi mandi?" sahut Kak April sambil berdecak.

"Masih mending sih, kalo yang diintip kayak Bryan atau Luke gitu gue bisa relate lah ya. Kalo Joshua... Emm..." sahut Kesha nimbrung sambil tertawa geli.

Kalimat itu langsung membuat semua orang mengangguk setuju sambil tertawa terbahak-bahak. Tidak mau kalah, aku juga mencoba mengutarakan pendapat, "Iya, nih, Kak Oliv ada-ada aja. Padahal waktu kecil Joshua kan cengeng banget, ingusan gitu."

"Tuh, Rosa aja tahu." sahut Kak April sambil menunjuk ke arahku dan tertawa terbahak-bahak. "Bosen nih, cabut yuk ke kamar gue."

Semua orang mengangguk setuju. Baru saja aku berdiri, Kak April mencegahku dan berkata, "Eh, gue lupa baju olahraga gue ketinggalan di kelas, tolong ambilin ya."

"Eh iya, sekalian tas gue belum kebawa, tolong ya." Kak Olivia menambahkan.

Aku mengangguk lalu mereka langsung tersenyum senang sambil berterima kasih. Kesha melirik ke arahku dengan pandangan yang sulit diartikan, membuatku teringat dengan perkataannya kemarin bahwa aku perlu berubah. Katanya diriku yang sekarang membuatku tampak seperti tidak punya harga diri dan dipandang rendah oleh mereka. Tapi menurutku asalkan aku bisa menjadi bagian dari mereka, tidak apa-apa.

Aku segera naik menuju kelas Kak April dan Kak Olivia untuk mengambil barang-barang yang mereka tinggalkan. Baru saja aku keluar dari kelas, hujan mulai turun dengan deras. Padahal, untuk pulang ke panti asuhan aku perlu berjalan beberapa blok lagi. Kalau saja aku sudah SMA mungkin hujan tidak lagi jadi masalah karena Pak Stenley punya gedung SMA yang dibangun hanya bersebelahan dengan panti asuhan.

Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu hujan di gerbang sekolah.

Sudah hampir satu jam hujan mengguyur sekolahku, dan langit pun mulai gelap. Aku tidak begitu suka pulang di malam hari karena banyak preman-preman yang sering nongkrong di dekat sini untuk memalak. Meskipun sebenarnya sekolahku bukan targetnya, sih, karena mayoritas anak-anak di sini adalah anak panti asuhan yang tidak punya uang, tapi tidak menutup kemungkinan kalau mereka bakal mencegatku juga, kan?

Aku takut.

"Mau bareng?" tiba-tiba terdengar suara berat dari balik tubuhku.

Joshua sedang berdiri di belakangku sambil memegang sebuah payung hitam yang cukup besar untuk kami berdua. Entah kenapa, auranya tampak sangat bersinar ketika menunjukkan payungnya padaku. Aku tidak tahu bagaimana ia bisa terpisah dengan sohibnya yang selalu menempel padanya, tapi ia sendirian sekarang.

"Lo ngomong sama gue?" tanyaku sambil celingukan, tidak mengira bahwa ia akan mengajak bicara orang pendiam sepertiku.

"Iya, lah, siapa lagi. Lo Rosa, kan?" sahutnya sambil tersenyum.

"Boleh, makasih." sahutku sambil berjalan masuk ke dalam payungnya.

Aku melirik ke arah Joshua yang hampir lima belas sentimeter lebih tinggi dariku, bertanya-tanya apakah ia sedang diberikan dare untuk memayungiku pulang ke panti asuhan—seperti yang biasa dilakukan anak-anak cowok lain padaku. Entah kenapa, jantungku tiba-tiba berdebar dengan cepat. Benar apa yang dikatakan Kak Olivia, kalau dilihat dari jarak sedekat ini, wajah Joshua termasuk wajah yang tampan.

"Sorry kalo gue kepo tapi lo biasa ngumpul bareng cewek-cewek yang suka ngeliatin anak-anak basket, kan?" Ia tiba-tiba membuka pembicaraan, membuatku terkejut dan langsung mengubah arah pandangan.

Ternyata aku sudah dianggap sebagai kumpulan Kak April. Senyum mengembang di wajahku.

"Lo emang biasa disuruh-suruh ngambilin barang, ya?" tanyanya lagi.

"Oh, ini. Iya, tadi Kak April sama Kak Oliv barangnya ketinggalan, jadi gue ambilin."

"Mungkin gue nggak berhak ngomong gini karena faktanya kita nggak sedeket itu. Tapi saran aja, kalo misal lo nggak nyaman sama temen lo yang sekarang, masih banyak anak-anak lain yang bisa menawarkan lo pertemanan yang sehat, kok." sahut Joshua datar.

"Thank you sarannya, tapi gue nggak apa-apa kok." jelasku. "Yah, gue sadar sih memang gue diperlakuin beda sama mereka, tapi memang aslinya gue beda, kan? Menurut gue di dunia ini nggak ada yang gratis, sih. Termasuk soal punya temen. Kalo lo punya temen pasti karena ada hal yang bisa lo dapetin dari dia, kan? Meskipun cuma sekadar kenyamanan. Sama kayak gitu, anggep aja ini adalah harga yang perlu gue bayar buat bisa jalan sama anak-anak populer."

"Nggak gitu sih, konsepnya." Joshua tersenyum simpul. "Tapi kalo emang lo nyaman ya nggak apa-apa, sih. Maaf kalo gue malah kayak sok tahu."

Sebenarnya aku masih ingin mengobrol lebih lama dengannya, namun kami sudah sampai di pintu depan panti asuhan jadi aku hanya mengangguk singkat. Setelah mengucapkan terima kasih pada Joshua kami langsung berpisah. Itu pertama kalinya ada orang yang mau berbicara padaku tanpa memiliki maksud tertentu. Jadi mau tidak mau, secara insting, mataku selalu tertuju padanya sejak saat itu.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameWhere stories live. Discover now