69. Sam

34 10 0
                                    

'Selamat! Kalian sudah sampai ke babak final permainan:) Tunggu instruksi dariku, ya. Good luck.'

Nggak benar, memang, Topeng Monyet. Dia kira ini apa, sih—game online? Nggak ada, tuh, game online yang bisa bikin pemainnya dijatuhi hukuman kejam oleh anjing predator. Lalu, apa maksudnya 'Tunggu instruksi dariku, ya. Good luck.'? Dia menyemangati kita untuk apa? Untuk menunggu instruksi darinya? Ha! Nggak pernah sekolah, memang, si Panji ini.

Duh, walau bisa ngomong begitu, aku tetap saja merasa takut. Buktinya, sejak menerima pesan ini kemarin malam, aku masih saja membuka-tutupnya untuk membaca ulang. Di sekolah pun, aku nggak bisa fokus tidur siang. Kira-kira, babak final macam apa, ya, yang sedang disiapkan oleh Topeng Monyet? Apa dia akan mencelakai Catherine?

Aku menatap layar ponselku yang menunjukkan pesan terakhir yang kukirim untuk Catherine. Aku memang rutin mengiriminya pesan setiap hari, untuk berjaga-jaga kalau mendadak ia sadar dari koma. Tetapi, semakin ke sini, aku semakin putus asa. Sebenarnya, si Topeng melukainya sampai separah apa, sih? Yang mengawasi dia di rumah sakit juga, siapa? Kenapa Pak Monster malah kembali ke sini dan bukannya menjaganya, ya? Pak Joseph juga, masih bolak-balik Jakarta-Bandung, bukannya fokus menjaga Catherine saja di sana.

Apa aku telepon saja rumah sakitnya? Mereka pasti tahu, kan, siapa yang keluar-masuk kamar Catherine? Lagipula, aku nggak ada kerjaan juga gara-gara hukuman kampret itu.

Akhirnya, aku pun mencari nomor telepon rumah sakit tempat Catherine dirawat, yang kusimpan di daftar kontak sejak Bryan meneleponnya minggu lalu. Setelah nada sambung singkat, suara halus resepsionis dari seberang telepon terdengar.

"Selamat malam, Rumah Sakit Husada. Dengan siapa saya berbicara?"

Aku langsung kagok karena nggak menyangka telepon akan diangkat sebegitu cepat. Kayaknya dulu Bryan membuat nama samaran. Siapa, sih? "Iya, Teh, saya Josephine," balasku, lalu langsung berharap bisa melenyapkan diri saat itu juga. Josephine? Kenapa nama itu yang pertama kali terlintas, sih? Goblok banget. Ah, tapi ya sudah, lah. Toh, Bryan bilang, nggak aneh kalau ada cowok yang punya nama kayak cewek, seperti Marta.

"Dengan Pak... Josephine, benar?" Resepsionis itu mengulang dengan ragu.

"I-iya, bener, Teh," balasku, lalu buru-buru menambahkan, "Joseph, sih, panggilannya, soalnya saya cowok. Hehe."

Si Resepsionis diam sejenak, lalu berseru semangat, "Oh, Pak Joseph, ya! Ada apa, Pak?"

Aku melongo heran. "Loh, Teteh kenal saya?" tanyaku. Bagaimana bisa dia mengenal tokoh fiksi buatanku saat aku sendiri nggak mengenalnya? Orang ini imajinatif, ya. Apa dia pasien dan yang kutelepon ternyata adalah rumah sakit jiwa?

"Jelas, dong, Pak. Bapak Joseph, kan, yang mendampingi Non Catherine?"

Oh. Oh. Astaga. Dia kira aku Pak Joseph yang itu? Memangnya dia nggak ingat suara Pak Joseph kayak apa?

Ya sudah, deh. Siapa tahu, dengan begini, dia malah mau memberi informasi secara cuma-cuma. "Oh, iya, iya, saya yang itu," balasku semeyakinkan mungkin, dengan suara yang kuusahakan mirip dengan Pak Joseph, walaupun setelah didengar-dengar, jatuhnya lebih mirip suara kera beranak. Untungnya, si Resepsionis kayaknya sedikit tuli, sehingga ia percaya-percaya saja.

"Ke mana aja, Pak? Kok, beberapa hari ini nggak datang?" tanyanya akrab.

"Loh, bukannya teman saya ada yang jagain Catherine di sana, ya, Mbak? Saya, kan, giliran sama dia."

"Nggak ada, Pak. Sejak Bapak terakhir ke sini tiga hari lalu itu, nggak ada. Tapi, tenang aja, Pak, kondisinya sudah membaik, kok. Perban yang di wajah dan kepalanya juga sudah dilepas, walaupun wajahnya masih bengkak. Nanti kalau sadar, saya pasti hubungi—"

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameWhere stories live. Discover now