66. Joshua

39 12 0
                                    

Sepanjang sisa waktu sekolah, sekujur tubuhku terasa lesu dan otakku tidak bisa berkonsentrasi. Kehebohan pagi tadi sudah cukup untuk menguras seluruh kewarasanku hari ini. Saat Pak Asep tiba-tiba memerintahkanku untuk pindah agar tidak duduk bersebelahan dengan Sam, aku pun tahu bahwa Pak Stenley sudah mengambil tindakan serius dan memberitahu semua guru agar turut mengawasi gerak-gerik kami.

Ini bukan hal terburuk yang bisa terjadi, sih. Saat penggeledahan, aku takut setengah mati kalau Pak Stenley bakal menemukan topeng yang kucuri dari ruang bawah tanah Topeng Putih. Topeng itu kusimpan di laci meja belajar, di bawah buku-buku, alat tulis, dan strap kamera yang sengaja kutumpukkan di atasnya. Aku tidak sempat memberitahu Gwen, sehingga aku tidak tahu apakah cewek itu bahkan akan ingat tentang barang curian itu di tengah suasana panik tadi, Tetapi, untung saja, ia ingat dan berhasil menemukannya. Kalau tidak, aku tidak bisa membayangkan sudah jadi apa aku sekarang—mungkin diserahkan ke polisi, dengan tatapan tidak percaya teman-teman yang mengiringi. Soalnya, aku pun belum pernah menyebutkan soal topeng itu pada mereka.

Walau begitu, aku tetap tidak bisa merasa tenang. Pikiranku terus-menerus melayang ke Rosa, dan penyesalan masih menghinggapiku hingga detik ini. Kenapa aku bodoh sekali? Kenapa aku selalu mengatur ponselku dalam mode silent setiap hendak tidur? Kalau saja kubiarkan bunyi notifikasinya menyala... apakah aku akan bangun dan Rosa bisa selamat?

Hingga bel pulang sekolah berbunyi, beban pikiran itu masih menggangguku. Aku melirik Sam, yang tampak sangat loyo dan tidak bersemangat. Rasanya, aku ingin menepuk bahunya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Tetapi, kenyataannya, aku sendiri tidak bisa memastikan hal itu atau bahkan berada dalam radius dua meter darinya tanpa ditegur. Jadi, aku hanya melempar seulas senyum ke arahnya untuk memberi semangat, lalu melangkah pergi.

Aku keluar dari kelas di saat yang hampir bersamaan dengan Bryan, yang keluar dari kelasnya sendiri. Kami hanya bisa berpandangan singkat, memberi semangat pada satu-sama-lain melalui tatapan mata. Kemudian, ia beranjak pergi, sepertinya hendak berganti pakaian untuk latihan basket. Aku pun berjalan di tengah gerombolan anak-anak yang berhamburan dari kelas masing-masing dengan tampang santai sambil saling bercanda. Pemandangan itu membuatku menghela napas panjang.

"Gimana, tadi?"

Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Saat menoleh, di balik bahuku, sudah ada Gwen, yang juga sedang berjalan santai sambil menggendong tas ransel hitamnya yang tampak sangat ringan. Aku celingukan dengan panik selama sesaat, kemudian ingat bahwa ia tidak termasuk dalam daftar orang yang tidak boleh terlihat bersama denganku versi Pak Stenley. Napasku terembus lega. Tetapi, aku tetap membalas dengan nada rendah. "Parah banget, tapi thanks udah bantu. Nggak dicariin guru, tadi?"

"Nggak susah, kok," jawabnya, "Anak-anak ngira aku pergi sama kalian, jadi mereka bilang ke Bu Putri kalo aku ikut dipanggil Pak Stenley. Tapi... parah banget? Nggak boleh kumpul, ya?"

Aku mengembuskan napas kasar. "Nggak beralasan, sumpah. Nggak paham banget kenapa harus se-ekstrem itu. Untung HP masih boleh dipegang sendiri, jadi setidaknya bisa SMS-an."

Gwen tidak menjawab, hanya menunduk seperti sedang berpikir. Kami tidak berbicara lagi selama bermenit-menit lamanya, sampai langkah kami sudah mencapai lantai tiga asrama, tempat kamarku berada.

"Bye," aku melambaikan tangan pada Gwen.

Di luar dugaan, ia hanya menatap mataku lurus-lurus sambil meneruskan langkah, tidak berbelok ke arah tangga naik. Aku menatapnya bingung. "Mau main ke kamarmu," ujarnya santai. "Pasti sepi, kan, nggak bisa main sama yang lain?"

Kalimat itu membuatku merasa seperti ada kupu-kupu kecil tiba-tiba beterbangan di dalam perutku. "Oh," balasku kagok, "Nggak apa-apa, kok. Biasanya juga nggak sesering itu nongkrong sama mereka. Balik kamar aja kalo mau istirahat."

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameWhere stories live. Discover now