34. Joshua

48 9 0
                                    

Suasana berubah suram dengan cepat, sesaat setelah Sam mengumumkan hal itu. Rasanya seolah-olah suhu di dalam ruangan turun beberapa derajat dalam waktu sepersekian detik. Aku sendiri, dapat merasakan sesuatu memukul-mukul dada dan kepalaku dengan kencang.

Luke.

Saat kami hendak menebak namanya, semua ini belum terasa nyata. Tetapi, sekarang, melihat teman sekamarku itu tak berdaya dalam foto yang dikirimkan Topeng Putih membuatku merinding hingga ke tengkuk. Pantas saja ia tidak ada di kamar sejak makan malam tadi.

Tapi... ada yang aneh, deh.

"Guys," aku memulai dengan suara serak, "Sejak kemarin, foto korbannya dikirim langsung setelah kita nebak. Nggak mungkin, kan, dia bisa nyulik secepet itu? Apa itu berarti mereka udah diculik sejak sebelum jam dua belas malam? Kalo gitu, dari awal, korbannya nggak mungkin salah satu dari kita, dong?"

"Iya juga, ya?" Alice bergumam. Wajahnya tampak hampir sepucat Luke di dalam foto. "Apa seharusnya kita ngamatin aja siapa yang ngilang sebelum jam itu? Menurut kalian, kalo kita jawab bener, dia bakal dilepasin, nggak, ya? Kalo fair, harusnya iya, kan?"

"Tapi nggak mungkin, deh, kita mau ngawasin semua orang," Rosa menyanggah, "Banyak, loh, anaknya. Lagian, tebakan kita nggak pasti bener, jadi nggak jamin juga kalo kita cuma ngawasin orang-orang di daftar kita, kita bakal bisa nebak dengan bener."

"Lagian orangnya bangsat juga, si Topeng Putih," Andrew mengerang, "Lo lupa, dia, tuh, licik? Tadi aja Sam dibego-begoin sama dia—ya, walau emang anaknya udah bego, sih, dari sononya. Bisa aja dia mau kita mikir kayak begini, biar ke depannya nggak nebak salah satu di antara kita. Trus, saat itu juga, dia mutusin buat beneran nangkep salah satu di antara kita."

Semua orang terdiam dengan pikiran kalut, baru menyadari bahwa permainan ini jauh lebih rumit daripada kelihatannya. Masalahnya, kami sedang berhadapan dengan maniak gila yang rela melakukan apa saja demi mencapai tujuannya. Bahkan, psikopat ini sepertinya jauh lebih berani daripada Willy. Pikiranku melayang ke foto Catherine dengan pisau ditodongkan ke wajahnya di rumah sakit, dan aku langsung merinding lagi.

"Kita nggak bisa tinggal diem," Bryan membuka suara, "Kalo cuma ngikutin permainannya gini, sama aja kita mau dikendaliin sama orang sinting. Kita harus mulai manfaatin situasi buat nyari Topeng Putih dan korban-korban ini."

"Masalahnya, gimana caranya?" Rosa bertanya, "Di panti kita, bahkan nggak ada ruangan yang mirip sama di foto. Bisa jadi itu di luar panti, kan? Areanya luas banget."

Aku menelan ludah. Lebih dari siapa pun, aku tahu bahwa pertanyaan itu seharusnya berbunyi 'Bisa jadi ada bagian panti yang nggak kita ketahui, kan?' Tetapi, bahkan saat aku membayangkan ruang bawah tanah Topeng Putih, tidak ada satu pun persamaan yang kutemukan dengan ruangan di dalam foto, kecuali bahwa keduanya sama-sama gelap setengah mati. Apakah itu berarti ada ruang rahasia lain? Atau Topeng Putih semata-mata meng-edit foto-foto itu untuk menutupi lokasi aslinya?

Sepertinya, aku harus ke ruangan itu secepatnya untuk memeriksa. Tetapi, aku juga ingat terakhir kali aku mencoba untuk bahkan mendekat ke sana. Topeng Putih jelas-jelas mengetahui seluruh gerak-gerik kami. Ia—atau mereka—juga punya Catherine dan banyak sandera lainnya di bawah kendali. Rasanya jadi serbasalah.

"Besok kita pikirkan caranya," Bryan memutuskan dengan nada lelah, "Sekarang, kayaknya bagus kalo kita istirahat dulu."

***

Tentu saja, ini belum waktunya aku beristirahat.

Mataku mengerjap beberapa kali saat menutup pintu kamar, mencoba mengetes apakah penglihatanku lagi-lagi sedang mengajak bercanda. Gwen sedang duduk di atas kasurku sambil memainkan ponselnya dengan tenang. Ini adalah pertama kalinya aku benar-benar bertemu dengannya sejak hari di mana kami menemukan markas terkutuk itu, dan saking anehnya kemunculan tiba-tiba ini, aku sampai mengira aku salah masuk kamar selama sedetik penuh, membuatku terbengong sejenak di ambang pintu seperti orang bodoh.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameWhere stories live. Discover now