83. Sam

29 11 0
                                    

Joshua hilang ditelan Bumi.

Heran. Badan Joshua, kan, nggak kecil. Kalau ngumpet di balik tumpukan pasir pun, pasti paling nggak rambutnya bakal nongol. Kenyataannya, aku nggak melihat cowok itu barang seujung rambut pun. Padahal, aku sudah memutari seisi lantai dua dan meneriakkan namanya seperti orang gila. Aku juga sudah turun ke lantai satu dan mengecek semua ruangan yang ada, sampai yakin bahwa nggak ada siapa-siapa di mana pun. Nggak cuma itu, aku terus meneleponnya berulang-ulang kali sampai ponsel dan kupingku hampir meledak saking panasnya. Apakah ia diterkam oleh Monster Gwen? Atau, lebih parah lagi, Topeng Putih? Atau…

Aku membelalakkan mata.

Atau… Monster Gwen itu Topeng Putih?

Masuk akal. Monster Gwen, kan, misterius banget. Aku juga nggak paham kenapa yang lain percaya begitu saja padanya dari awal. Padahal, belajar dari film-film, para penjahat itu biasanya seram dan suka mengancam orang lain—persis sekali dengan deskripsi Monster Gwen. Bodoh banget. Kenapa aku nggak sadar sejak dulu? Kalau begitu, Joshua pasti dalam bahaya. Membayangkan pisau besar yang hampir mengiris leherku tadi ditodongkan ke lehernya…

“Josh!” aku langsung berteriak panik sambil berlari menaiki tangga, kembali ke lantai dua. Jantungku berpacu dengan sangat cepat sampai rasanya ingin kukeluarkan saja dari tubuhku. “Josh, lo di mana? Lo diapain Monster Gwen? Jawab gue kalo lo denger ini, Josh!”

Nggak ada jawaban.

Aku menerjang masuk ke dalam ruangan pertama yang kulihat di lantai itu. Sesuai dugaan, nggak ada orang di sana. Hanya ada kaleng-kaleng cat dengan isi yang sudah kering dan beberapa balok kayu yang berserakan di lantai.

“Josh?” panggilku lagi sambil melangkah keluar, “Jos—”

Tap tap tap

Jantungku berhenti berdetak seketika, sampai-sampai aku curiga benda itu benar-benar keluar dari tubuhku entah bagaimana.

Bunyi apa itu? Bukankah itu langkah kaki? Langkah kaki milik siapa? Katanya, bangunan ini angker. Apakah itu berarti, langkah kaki itu milik hantu? Tetapi, hantu, kan, nggak punya kaki. Terus, jangan-jangan…

Lagi-lagi, otakku memutar ulang adegan beberapa saat yang lalu. Cekikan di leherku… pisau yang seinci lagi menyentuh kulitku… suara berat Topeng Putih yang berbisik dengan nada membunuh di telingaku…

Aku bisa merasakan wajahku memucat, dan air mata menyeruak ke pelupuk mataku.

Shoot. Aku takut banget.

Sebenarnya, mungkin saja itu Joshua. Tetapi, aneh kalau dia berada dalam jarak sedekat ini dan nggak mendengar panggilanku barusan. Lagipula, bunyi langkah itu lemah banget. Masa Joshua berjalan seperti itu; memangnya dia sedang ambeien? Atau… dia mau mengagetiku, ya? Untuk apa dia mengagetiku; biar seru?

Nggak, Goblok, otakku menyanggah, Itu Topeng Putih. Sadar, deh.

Lututku langsung melemas. Goblok banget. Kenapa aku malah teriak-teriak memanggil Joshua tanpa berpikir panjang, sih? Bukankah sama saja aku mengumumkan keberadaanku pada Topeng Putih, sekaligus mengumumkan bahwa aku sendirian? Sekarang, kalau dia mau membunuhku, gampang saja, kan? Toh, aku sendiri yang berteriak ‘Aku di sini, lho! Bunuh aku, plis!’

Tap tap

Bunyi itu makin terdengar keras. Tanpa sadar, aku memekik tertahan. Buru-buru, mataku melirik ke sana kemari, mencari tempat persembunyian terdekat. Sayangnya, yang terbaik yang bisa kutemukan adalah sebuah tikungan menuju lorong yang lain lagi. Putus asa, aku pun segera berlari menuju tikungan itu.

Tap tap tap

Buset, batinku, Kok, malah jadi lebih dekat, sih, bunyinya?

Di tengah kepanikan, mataku menangkap sebuah pintu di sisi kanan. Aku mengembuskan napas lega. Terakhir kali aku menemukan pintu yang sudah dipasang seperti ini, itu adalah pintu menuju tangga darurat. Ruangan lain nggak ada yang sudah dipasang pintu; semuanya baru bingkai saja. Pasti ini adalah pintu tadi, atau pintu lain yang juga menuju ke tangga darurat.

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameWhere stories live. Discover now