41. Rosaline

48 11 4
                                    


Aku sudah tahu pasti bahwa orang yang tidak pernah marah seperti Joshua akan lebih mengerikan saat marah daripada preman yang sering mengumpat seperti Andrew.

Tapi, aku tetap berdiri dan mengejarnya tanpa berpikir terlebih dulu. Tubuhku seperti bergerak sendiri, sampai-sampai ketika kesadaranku kembali, aku mendapati diriku sedang berlari mengejar punggung Joshua yang tengah menuruni tangga dengan langkah cepat.

"Josh! Tunggu gue!" panggilku sambil berusaha mencegat langkahnya.

Begitu berhasil memegang pundaknya, ia berhenti. Rasanya seluruh tubuhnya tegang, rahangnya mengeras, dan pundaknya yang kini berada di genggaman tanganku pun terasa begitu kaku. Baru kali ini aku melihat sosok Joshua yang selalu lembut dan ramah pada semua orang menjadi sebegini menyeramkan. Sosok yang seperti matahari ternyata bisa mengalami gerhana juga.

"Sori, Sa, gue lagi butuh waktu sendiri." sahutnya pelan sambil menghela napas dan memaksakan seulas senyum padaku.

Senyum itu membuatku tersihir menjadi batu. Tidak, bukannya senyum itu mengerikan atau apa, hanya saja aku merasa benar-benar heran. Meskipun marah besar pada Bryan, ia masih bisa memaksakan seulas senyum pada orang lain seperti ini. Aku hanya bisa menatap punggungnya menghilang di balik pintu kamar dalam diam. Sebenarnya, aku benar-benar ingin mengejar dan menemaninya meredam emosi sebagai teman bercerita.

Tapi, memangnya siapa aku baginya?

Aku menghela napas panjang, mengurungkan niat di dalam hatiku dan berbalik. Di belakangku, tampak Bryan dengan tampang super kecewa dan syok. Sepertinya ia tidak menyangka perbuatannya barusan bisa membuat Joshua sebegitu marahnya. Aku tidak tahu harus berpihak pada siapa karena jujur, kali ini Joshua menyembunyikan informasi yang sangat penting bagi kami semua.

Tapi, itu Joshua.

Ia tidak mungkin bertindak sebelum berpikir dan merahasiakan apa yang seharusnya tidak dirahasiakan seperti ini. Aku yakin ia punya alasannya sendiri, tapi sebagian kecil dalam diriku juga masih merasa Joshua sudah berperilaku aneh.

"Dia lagi pingin sendiri." kataku pada Bryan yang masih menatap lurus ke arah kamar Joshua yang tertutup rapat.

"Coba gue ngomong—"

"Kayaknya jangan, deh." potongku sambil menahannya. "Kalo lo ke sana sekarang, kayaknya malah bakal tambah merusak pertemanan kalian. Mending biar adem dulu aja."

Bryan hanya bisa menghela napas panjang, terdengar sangat kecewa. Baru ia membuka mulut untuk menyambung, ponsel kami berbunyi bersamaan. Kami segera mengecek pesan dari Topeng Putih.

'Telepon aku sekarang kalau nggak mau ketinggalan klu pertama!'

Psikopat itu juga tidak tahu situasi, ya? Nada bicaranya sudah seperti pacar over-protektif saja; lama-lama membuatku semakin jengkel padanya. Atau malah, semua perpecahan ini memang adalah bagian dari rencananya untuk membuat kami gagal menangkap mereka.

"Kayaknya... Kita harus telepon dia sekarang." kataku sambil mengajak Bryan naik kembali ke kamar Alice.

Ia sempat terdiam di tempat beberapa saat, menimbang-nimbang haruskah aku pergi duluan ke atas dan menelepon Topeng Putih menggantikannya. Sebelum ia sempat mengungkapkan ide gila yang tidak mungkin kujalankan itu, aku buru-buru menyambung, "Gue nggak akan pergi tanpa kapten IMS. Bisa apa gue, kalo lo sama Joshua nggak ada?"

Bryan pun menghela napas panjang lagi untuk yang kesekian kalinya.

Akhirnya, dengan berat hati, ia kembali naik menuju kamar Alice. Ruangan diliputi suasana hening ketika aku dan Bryan kembali masuk ke dalam. Begitu melihat kami, Alice langsung menyerbu dengan pertanyaan, "Joshua gimana?"

[COMPLETED] Curse of the Suicide GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang