20 - Healing Process

311 60 32
                                    

Setelah perdebatan sengit dengan pemilik venue di Bandung, akhirnya masalah kami selesai dengan jalur damai. Tentunya Pak Danu harus mengikuti apa yang pemilik venue inginkan, meskipun mungkin nanti ketika di kantor kami bakal dimarahi habis-habisan karena bisa-bisanya kecolongan buat hal seperti ini.

Kami berempat cuma ketawa sepanjang jalan, ngetawain jokes yang dikeluarin Dina dan Heri yang sebenarnya nggak lucu sama sekali, buat menutupi rasa gugup karena kemungkinan bakal diocehin habis-habisan di kantor. Setelah sampai di Jakarta, Dina dan Heri turun di tower kantor karena mereka bawa kendaraan masing-masing. Sementara gue, pindah buat duduk di depan, jadi super kaku, bingung, enggak tau lagi mau ngomong apaan sama si Manusia Goa.

Entah kenapa, kalau gue pikir-pikir lagi, Pak Danu memang selalu ada di setiap saat gue lepas kendali. Setiap gue tiba-tiba merasa down, setiap gue tiba-tiba keinget hal yang bukan milik gue lagi, Pak Danu pasti jadi orang yang menonton saat-saat itu.

Apalagi semalam, waktu gue sesegukan karena keinget jawaban bangsatnya Adish, dan Pak Danu melukin gue sampe air mata gue kering.

"Putus itu mudah, Ndy. Bisa semenit, bisa juga sedetik. Yang susah itu letting go."

Gue inget yang dibilang sama Pak Danu semalam.

"Sejatinya, yang namanya memori nggak pernah ilang, apalagi dilupain. Kita cuma berusaha merekayasa otak kita biar nggak merasa sakit secara berlebihan. Jadi otak kita mati-matian berusaha seolah-olah semua hal itu enggak ada di sana. Padahal, mau dikacangin kayak mana pun, memorinya pasti tetap ada, kecuali kalau kita kena amnesia, atau meninggal dunia. Bagusnya adalah, ketika otak kita sudah penuh dengan memori baru yang membahagiakan, semuanya bakal jadi biasa aja. Enggak akan berasa sakit walau kamu tau memorinya masih di sana. Karena itulah, sebenernya patah hati itu worth it.

"Pada akhirnya, kamu tau apa yang salah. Dan kamu nggak bisa disalahkan ataupun menyalahkan diri buat hal-hal yang nggak bisa kamu cegah. Kita pernah sama-sama bahagia waktu jatuh cinta, tapi kalau memang akhirnya enggak bahagia, ya bukan salah kita. Kita nggak bisa ngatur apakah kisah kita setelah ini bakal bahagia atau nggak."

Malam itu, gue cuma bersandar di bahu Pak Danu, dengerin dia ngoceh ngalor ngidul, yang entah kenapa kerasa banget cocok sama gue.

"Dulu saya pernah ditinggal nikah."

Waktu ngomong itu, Pak Danu cuma memandang lurus ke depan, tapi gue bisa merasakan rangkulannya menguat.

"Semuanya udah siap. Undangan udah disebar. Bahkan saya sendiri udah larut sama euforia calon penganten baru. Tapi tiga hari menjelang akad nikah, dia ajak saya ngobrol. Kita ketemuan, jalan, seneng-seneng kayak biasa. Enggak, saya sih ngerasa kalau saya jauh lebih bahagia dari sebelumnya, karena saya tau jelas, kalau dalam beberapa hari lagi kami udah bakal jadi satu potong hal utuh, yang mungkin nggak akan lepas sampai mati.

"Tapi, waktu saya anter dia ke rumahnya, dia nangis. Dia bilang, kalau semuanya terasa hambar. Hubungan kami, komitmen kami, pertemuan kami, semuanya terasa hambar di hati dia. Bahkan pertemuan kami hari itu, yang saya bilang jauh lebih membahagiakan dari hari-hari sebelumnya, dia bilang hambar. Dan karena itu dia memutuskan buat pergi, tanpa nanya ke saya apakah saya mau melepas dia atau nggak."

Setelah berkata begitu, Pak Danu menatap gue dalam, dan refleks gue bergerak buat meluk dia lebih erat. Gue paham betul, kenapa malam itu gue bisa bertindak di luar nalar. Bukan karena Bandung lagi dingin-dinginnya, bukan juga karena lagi sepi dan kita gelap-gelapan, tapi karena Pak Danu dan gue sama-sama memahami perasaan yang sama. Bagaimana rasanya ditinggalkan ketika lagi sayang-sayangnya.

Enggak heran, omongan Pak Danu selama ini selalu terasa pas di hati gue, bahkan terkesan menenangkan tanpa harus gue ceritakan banyak hal.

Malam itu, gentian gue yang bercerita, tentang betapa indah semua hal yang terjadi selama dua belas tahun, dan betapa besar perjuangan yang Adish lakukan buat gue. Tapi semuanya pergi, dan bahkan gue enggak pernah tau karena apa.

"Ya ... tapi cinta itu emang bangsat, 'kan?" Pak Danu menatap gue seraya membetulkan posisi duduknya, membuat posisi kami jauh lebih dekat lagi. Dagunya ditumpukan di atas kepala gue, sementara gue menyembunyikan wajah di dadanya sambil menutup mata. "Sayangnya itu juga yang bisa bikin kita jadi orang paling bahagia."

"Gobloknya, kadang cinta juga bisa ilang dengan alasan sepele. Enggak peduli seberapa lama dia dijaga, bisa-bisanya dia pergi begitu aja. Bahkan saya nggak pernah tau apa yang salah. Perasaaan saya masih sama, perlakuan saya masih sama, entah di bagian mana yang terasa hambar. Sampai bisa-bisanya bikin semuanya hilang begitu aja. Makanya saya bilang, kita nggak bisa menyalahkan diri buat sesuatu yang nggak bisa kita atur. Tapi kita masih bisa memperjuangkan apa yang masih ada dalam jangkauan kita. Misalnya, melindungi diri buat nggak merasa sakit lebih dari satu kali."

Dalam hati, gue seratus persen mengiyakan perkataan Pak Danu. Healing process ini beneran berat banget. Ibaratnya kayak kita nggak boker lima hari. Perut jadi buncit, jantung deg-degan, was-was minta ampun karena takut dikira hamil di luar nikah. Padahal yang disimpen sebenernya sampah, yang bergumul berhari-hari, tapi bikin sistem badan serba susah karena nggak dikeluarin.

"Saya sebenernya nggak mau gagal lagi." Pak Danu menjauhkan tubuh, menangkup pipi gue, dan menatap dalam-dalam. "Tapi kalau seandainya kamu berpikir bukan saya orangnya, jangan takut buat kasih tau saya, Ndy. Biar saya mundur."

"Sandy."

Panggilan dari Pak Danu membuat gue tersadar dan menoleh ke arahnya yang duduk di balik kemudi.

"Udah sampe."

Perkatannya membuat gue mengedarkan pandang, dan melihat lobi apartemen gue dengan jelas. Tolol banget gue melamun sepanjang jalan sampe nggak sadar udah di sini sekarang.

"Kamu mau saya bantu bawain tas?"

Suara Pak Danu terdengar lagi, yang gue jawab dengan gelengan.

"Pak ... saya boleh tanya sesuatu?"

Pertanyaan yang gue lontarkan membuat mata Pak Danu terbuka tebar, menatap ke arah gue seolah bertanya-tanya.

"Bapak bilang ... nggak mau gagal lagi, 'kan? Kenapa tiba-tiba pilih saya? Apa karena merasa kita punya kemiripan?"

Pak Danu terkekeh, lalu menggeleng. "Saya nggak tiba-tiba suka sama kamu. Tapi saya tau dulu kamu sudah ada yang punya. Dan menurut saya, merebut milik orang lain itu bikin semuanya nggak objektif. Saya takut keputusan saya atau kamu buat saling berbahagia jadi nggak mutlak. Jadi ... saya pikir ... kalau seandainya kamu memang buat saya, pasti bakal ada titik di mana saya bisa maju buat kamu."

Gue menunduk. Sebelum tertawa kecil. "Udah dua belas tahun saya nggak pedekate. Tapi Bapak boleh juga."

"Saya juga udah tujuh tahun nggak godain cewek. Syukurlah kalau kamu suka."

"Makasih, Pak." Gue mengucapkan kalimat itu pelan-pelan dan Pak Danu malah ngeliat gue pake muka bingungnya. "Karena udah milih saya."

Gue bisa liat Pak Danu terkekeh. "Kamu kayak abis menang caleg aja," katanya.

"Saya bersyukur. Setelah semua yang uda terjadi kemarin-kemarin, rupanya saya masih pantes buat ada di hati orang lain." Perkataan gue itu langsung membuat pupil mata si Manusia Goa itu membesar, lalu senyumnya merekah, yang bikin gue cepat-cepat melepas safety belt. "Walaupun sebenernya di kondisi sekarang rasanya sulit buat bikin langkah baru lagi."

Gue cepat-cepat bergerak buat membereskan barang, takut si Manusia Goa ini salah tangkap omongan gue dan malah berpikir yang jauh-jauh. Baru aja tangan gue menyentuh kenop pintu mobil, Pak Danu udah menahan pergelangan tangan gue yang satunya.

"Ndy?"

"I — iya, Pak?"

"Gini aja. Mau trial jadi pacar saya nggak?"

Dia menatap gue dalam-dalam, dan entah halu atau nggak, rasanya gue bisa denger suara degup jantung yang samar-samar mulai menguasai mobil.

"Tiga bulan aja. Kalau kita nggak cocok, kamu boleh pergi. Saya yakin kamu nggak akan kecewa."

***



a/n 
haruskan kuapdet beneran rutin mulai skrg? sumpah pengen tamat bulan ini :(

RetrospeksiWhere stories live. Discover now