19 - Dan Sialnya, Bandung Selalu Punya Magisnya Sendiri

239 54 6
                                    

Gue menggosok kedua lengan terus menerus. Bandung diguyur hujan deras banget, sementara meeting Pak Danu berjalan alot. Dari tadi doi nggak keluar-keluar, menandakan negosiasinya belum lancar.

"Lapaaar ...." Dina memeluk tubuh gue erat, yang bikin gue ikut meluk dia.

Heri yang ngeliat kami berdua pelukan langsung berdiri, dan pindah ke sofa yang sama dengan kami. "Mau juga." Dia merentangkan tangan.

"Pergi lo." Dina mengacungkan jari tengah.

"Dikit aja, Din." Heri mengeluarkan pandangan memelas.

Gue tertawa sebelum menepuk pundak Heri dua kali. "Intip, gih, Her. Lama amat."

Heri berdiri, mengintip sedikit dari celah gorden dalam ruangan itu, sebelum menatap kami dan menggeleng pelan. Gue menghela napas, sudah tiga jam Pak Danu di dalam situ, dan kayaknya belum ada tanda-tanda masalah ini bakal selesai.

Bulan lalu, Dina dan Heri sempat dealing ke Bandung buat sewa dan urus izin penggunaan venue acara yang akan kita adakan dua minggu lagi. Tiba-tiba aja, semalam, pihak venue bilang kalau acara kami nggak bisa diadakan di sana. Satu tim langsung kelimpungan, terutama Pak Danu, karena sponsor dan seluruh elemen udah siap. Apalagi pre-order tiket udah dibuka, dan banyak banget muda-mudi yang udah antre buat beli tiketnya.

Gue pun ikut-ikutan keringat dingin, kalau sampe venue ini beneran ngambek, bisa abis gue di bombardir orang-orang. Event kali ini, gue yang memimpin marketingnya. Udah pasti banget dicaci tenant, partner, dan semua orang yang beli tiket. Makanya itu, tadi pagi-pagi banget, gue, Dina, Heri, dan Pak Danu berangkat ke Bandung.

Boro-boro sarapan, boker aja gue tinggal waktu dapet telepon dari Heri jam empat subuh tadi. Tiba-tiba aja mules berganti dengan semua perasaan yang nggak enak, kayak beban kerja tiap akhir tahun datang dua kali lipat.

Sebelum datang, Pak Danu yang keliatan paling emosi. Project kali ini bisa dibilang adalah project musik terbaik yang pernah LifeUp bikin, dan Pak Danu pasti mempertaruhkan semua nama baiknya.

Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Memperlihatkan Pak Danu yang mukanya udah kusut banget, rambutnya udah di cepol tinggi, dan lengan bajunya digulung sampe siku. Dia menghela napas panjang, lalu menatap wajah kami satu per satu, dan disalip oleh suara perut Dina yang tiba-tiba bunyi.

Gue mencubit lengan Dina pelan, sementara cewek itu menyembunyikan wajah di pundak gue. Bisa-bisanya itu perut enggak paham sama kondisi ketegangan mental.

Pak Danu mendengkus, sebelum berjalan lebih dulu. "Ayo makan."

***

Gue naikin kedua kaki ke atas kursi, mata gue menatap lurus pada Pak Danu yang lagi tiduran di sofa. Dina sama Heri lagi sama-sama ribet rebutan ayam pop, sementara gue nggak napsu makan, cuma nyemilin kerupuk jangek doang.

Masalah venue belum selesai, yang bikin kita berempat akhirnya menginap di sebuah vila kecil di Ciumbuleuit. Niatnya sih pengen refreshing dikit biar nggak stress-stress amat gara-gara venue ini. Tapi nggak bisa dipungkiri, beban di hati masih ada.

Ngeliat Pak Danu yang langsung mandi dan tiduran di sofa ketika kita sampe di vila, bikin gue kasian sama dia. Kelar makan tadi, dia belum ngomong apa-apa. Cuma dari air mukanya gue tau, semua nggak baik-baik aja. Doi yang memutuskan buat nginep di Bandung semalem, dan Heri menawarkan nginep di vila kecil milik temennya.

Bodohnya, kita berempat sama-sama nggak bawa baju. Dan tadi kita semua sama-sama beli kaos obral di FO buat dipake tidur malam ini. Udah alamat banyak pikiran, calon panuan pula.

Jadi EO emang harus seneng-seneng, jangan sampe euforia acara ikut-ikutan jadi gloomy gara-gara EO-nya. Masalah yang dihadapi udah pasti banyak, kadang mendadak, kadang juga terkesan nggak manusiawi. Makanya di EO beneran banyak orang gila, dan turnover ratenya tinggi banget. Mungkin gue, Dina, Heri, dan Pak Danu termasuk orang gila yang masih betah-betah aja dengan tekanan fisik dan mental selama kerja di LifeUp.

Dan khusus masalah hari ini, gue yakin membawa beban mental yang besar buat Pak Danu. Ini project terbesar tahunan pertama yang dia pegang selama dia menjadi team leader gue.

Langit udah semakin gelap, Heri udah masuk kamar duluan abis makan. Gue dan Dina sempet ngobrol bentar sebentar sebelum si Kutil Biawak ngorok leboh cepat karena udara yang adem banget.

"Tapi, kabar baiknya adalah, ketika seekor anjing pergi, dia nggak pernah nutup pintu."

Ah, sialan. Gue pikir otak gue bakal dipenuhi sama masalah event, tapi, makin malam pikiran gue malah makin mundur. Gue memutuskan buat bangun, dan berjalan keluar kamar. Cahaya lampu dari teras masuk ke dalam ruang tengah yang gelap, membuat gue jalan pelan-pelan ke meja makan buat ngambil air mineral botolan yang dibeli tadi.

Pandangan gue beralih menatap pintu yang mengarah ke taman belakang terbuka, membuat gue berjalan ke sana, takut kalau-kalau kita lupa ngunci pintu atau ada maling yang masuk. Dan gue menemukan Pak Danu yang duduk lesehan di lantai, ngelamun merhatiin Pop Mie di pangkuannya.

Gue berjalan ke arahnya dan memosisikan diri buat duduk di samping dia. "Minya ngembang, Pak."

Perkataan gue membuat beliau tersentak, menoleh buat memperhatikan gue, sebelum mendekatkan wajah ke Pop Mi miliknya. Dia menghela napas dan menaruh Pop Mi itu di lantai.

"Nggak tidur, Ndy?"

Gue tersenyum. Itu kalimat pertama yang Pak Danu keluarin buat gue, setelah nyuekin gue dua mingguan kemarin.

"Ribet, ya, Pak, masalah hari ini?"

Pak Danu tertawa sekilas. "Biasa, Ndy. Duit."

"Jadi kita harus cari sponsor lagi?"

"Nggak bisa gitu. Bisa-bisa financial LifeUp dibilang jelek. Namanya resiko, harus ditutup sendiri. Tinggal KPI saya nanti aja ancur atau nggak."

Gue bisa memperhatikan Pak Danu memijat pelipis, pantes aja dari tadi dia keliatan kayak orang gila. Dia berpikir buat nyelesain semuanya sendiri, demi nama baik event, kantor, dan tim kami.

Gue akui, dulu gue sempat mempertanyakan kredibilitasnya Pak Danu sebagai pengganti Bang Tora. Dan hari ini, gue bisa jamin kalau si Manusia Goa ini memang pantas jadi team leader. Walau memang agak kalem dan solvingnya kadang-kadang liar, tapi dia berani jadi tameng buat timnya.

"Ah, anak yang punya LifeUp harusnya santailah. Bukan salah Bapak, saya bakal maju kalau Bapak diapa-apain."

Kekehan kecil Pak Danu terdengar. "Kamu beneran percaya kalau saya anak yang punya LifeUp?"

Gue malah diam.

"Kalau beneran punya Bapak saya, sih, saya nggak pusing, Ndy. Masalahnya, saya cuma nggak mau satu tim di eval. Padahal emang bukan salah kita. Kamu tau kan HR kita separah apa?"

Dalam hati gue mengiyakan perkataan Pak Danu, sebelum menautkan jemari, karena nggak enak sama dia. Tiba-tiba, Pak Danu menaruh kepalanya di tengkuk gue dan menyandarkan diri di sana.

"Pinjem sebentar, saya pusing."

Gue membatu. Panas dari wajah Pak Danu menjalar ke seluruh tubuh gue. Rasanya kayak deja vu. Alih-alih risih, tangan gue malah bergerak buat membelai kepalanya.

Adish pun begini dulu. Tubuhnya bakalan panas banget kalau kebanyakan berpikir. Lalu gue diharuskan buat meluk dia semalam suntuk, biar tidurnya nyenyak dan bisa fit lagi buat kerja esok hari.

Yang sekarang gue peluk memang bukan Adish. Sudah pasti bukan Adish. Udah nggak akan ada Adish lagi di hidup gue.

"Ndy?"

Gue terdiam saat mendengar suara Pak Danu, sebelum tersentak saat lelaki itu mengusap pipi gue.

"Kamu nangis?"

Bahkan gue nggak tau kalau gue masih bisa nangis malam ini, tapi tindakan Pak Danu seolah membuat gue membuka diri pada memori yang nggak seharusnya gue ingat lagi.

Lelaki itu menarik gue ke pelukannya, membuat gue menumpahkan semua perasaan gue di bahu Pak Danu. Gue nggak tau apakah Pak Danu bisa paham apa yang sekarang terjadi pada gue, tapi gerakan tangannya yang mengusap punggung gue pelan seolah berkata kalau gue akan baik-baik aja setelah ini.

"Kemarin saya pikir kamu butuh waktu. Tapi kalau memang semua hal jadi sesakit itu buat kamu, saya mohon, buat kali ini percaya sama saya, Ndy. Saya pasti bikin kamu bahagia."

***

RetrospeksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang