7 - Oleng, Kapten!

277 60 37
                                    

"Ndy, Ndy, Ndy, Ndy! Gue ada kabar baik." Dina buru-buru narik kursi di samping gue. "Gue tau sekarang, hadiah terbaik buat patah hati lo."

Gue menghela menghela napas. Sumpah, ini masih pagi, kaus kaki gue masih sumpek gara-gara kecipratan kubangan air pas OTW ke kantor, dan si kutil biawak ini sudah mencurigakan. "Apa? Nanas muda lagi?"

Dia menggeleng. "Nggak-nggak. Lo butuh seneng-seneng—"

"Din, Jakarta banjir, macet, seneng-seneng dari sisi mananya? Udah, ah, balik sana ke meja lo. Lagi ribet ini tempat event masalah semua karena banjir." Gue dorong kursi yang dia duduki, sekarang waktunya kerja serius, bukan gibah bahkan ngobrol hal nggak penting bareng Dina.

"Ndy, ini gue serius punya hadiah yang bisa ngehibur lo."

Gue menghela napas. "Oke, apa?"

"Lo tau kan gue jadi joki tiket konser BTS? Nah, kebetulan ada satu tiket yang nyisa, lo mau nggak ikutan gue nonton?" Dina semringah, matanya udah berbinar-binar seolah kasih gue hadiah terbaik sepanjang masa.

Gue naikin salah satu sudut bibir. Ketawa sumbang buat ajakan dia, lalu balik lagi ngurusin isi komputer gue.

"Ndy, gue serius." Sekarang Dina udah melukin gue dari belakang. Mukanya digosok-gosok ke kemeja gue yang gue harap nggak coklat-coklat kena bedak sekarang.

"Gue juga. Gue mau kerja, Din." Gue puter kursi dan liat muka dia. "Dan gue nggak tau siapa BTS. Boyband terakhir yang gue tau cuma Smash. Jadi, dari pada gue nonton konser BTS dan jadi kambing congek, mending kita karokean lagunya Souljah bareng."

"Ck! Ndy, ini seriusan. Bukan karena gue suka sama BTS loh, ya. Tapi lo seriusan bisa having fun di sana."

"Terserah deh." Gue menjawab sekenanya.

"Percaya sama gue, Ndy, semua bakal Kpop pada waktunya. Emang lo nggak berasa sekarang, tapi cinta paling abadi itu ya cinta buat oppa-oppa."

Sontak gue langsung berdiri, nunjuk tepak di jidat Dina sambil teriak. "Dasar durhaka—"

"Ya, jadi ada yang mau nemenin saya ketemu klien hari ini?"

Ruangan mendadak sunyi, sementara tangan gue yang nunjuk Dina masih kaku di tempat. Pelan-pelan gue noleh ke belakang, ngeliat si manusia goa udah keluar dari ruangan.

"Ya, Sandy! Karena cuma kamu yang berdiri, i guess kamu pasti mau nemenin saya ketemu klien kan?" Sekarang tangannya udah bertumpu di meja gue, sementara badan gue masih kaku berdiri dan shock juga sama kehadiran manusia goa satu ini.

"Saya nggak sengaja ber—"

"Oke, Sandy, cepat berkemas. Kalau saya liat di google maps, jalan bakal agak macet. So, ada yang punya motor?"

Gue membelalak. Fix, dia beneran gila. Sekarang itu hujan lagi parah-parahnya, banjir di mana-mana, dan dia ngajakin gue ketemu klien naik motor? Wah, asli, konslet otaknya.

"Pak—"

"Sst ... Sandy. Buruan siap-siap. We don't have enough time." Matanya ngelirik gue, mengisyaratkan kalau gue harus buru-buru. "Jadi, motor siapa yang bisa saya pinjem."

Gue gugup, perasaan gue udah nggak enak banget gara-gara ngebayangin bakal dibonceng sama manusia goa ini. Sejenak nggak ada yang bersuara. Gue bersyukur. Mungkin anggota tim gue belum bisa respect sepenuhnya sama manusia goa yang jadi penggantinya Bang Tora ini.

Ya, mana bisa respect juga sih. Background si manusia goa ini beda jauh dari Bang Tora. Tim LifeUp itu kebagi dua, tim gue in charge ke acara-acara yang lebih hype kayak festival dan semacamnya. Sementara tim sebelah, yang dulu dipimpin sama manusia goa ini lebih ngurusin event yang kaku kayak konferensi dan segala tetek bengeknya.

RetrospeksiWhere stories live. Discover now