10 - One of a Kind

208 56 10
                                    

Sebelas tahun yang lalu

***

"Pak ... Pak! Aku stop di depan aja!"

Gue tepuk lembut pundak Bapak dan membuat motor kita langsung menepi.

"Nggak mau di gerbang aja? Nanggung tinggal dikit lagi juga." Bapak noleh ke arah gue, memperhatikan gue yang buru-buru turun dari motor.

Cepat-cepat gue raih tangan kanannya dan gue cium sekilas. "Nggak. Sandy turun di sini aja. Bapak langsung aja ke proyek." Gue terkikik kecil, dan membentuk love alay dengan jemari gue. "Dadah Bapak sayang."

Bapak cuma geleng-geleng sekilas. "Nanti pulangnya hati-hati. Bapak nggak jemput," ujarnya sebelum menjalankan motor dan menyatu dengan pengendara lainnya.

Senyum gue makin ngembang. Hari ini cuaca nggak panas-panas banget, semalam baru hujan dan untungnya genteng rumah gue nggak bocor lagi. Hari ini pasti nggak akan jadi hari yang buruk.

"Dor!"

Tepukan di pundak gue bikin gue terlonjak. Hampir aja kresek isi bubur yang gue beli di depan rumah tadi jatuh saking kagetnya.

"Kaget, ya? Maaf ... maaf."

Si pelaku cuma memamerkan senyum manisnya sambil merangkul bahu gue.

"Jangan gitu, Dish, ngagetinnya. Nanti kalo gue mati muda gimana?"

Adish tertawa, tangannya sekarang beralih buat mainin rambut gue yang lepas dari kuciran. "Ya maaf. Abisnya, lo sampenya lama. Kan gue bosen nongkrong di pinggir jalan. Lo tau nggak, tadi gue ditawarin ngaibon sama abang-abang di seberang gara-gara nunggu lo nggak datang-datang."

Muka gue langsung berubah. "Mana abang-abangnya?"

Sialan. Abang-abang mana yang mau merusak pacar gue, hah? Pake acara nawarin aibon. Liat aja, gue pites kepalanya.

"Wet ... wet ... sabar ibu negara. Mending kita jalan ke sekolah, yuk?" Tangan Adish berpindah untuk menggandeng tangan gue, dan nuntun gue buat jalan pelan-pelan ke arah sekolah tercinta.

Setiap pagi semenjak pacaran, selalu kayak gini. Adish nungguin gue di perempatan dekat sekolah, dan jalan bareng ke sekolah sambil bergandengan tangan. Bikin geli, ya? Biarin, yang penting gue dan Adish bahagia. Namanya juga baru jadian.

"Gue beliin mi ayam, Ndy. Nanti makan bareng di kelas lo ya?" Adish mengangkat kresek yang dia bawa, yang gue jawab dengan anggukan. "Itu lo beli buat gue?" Dia menunjuk kresek di tangan kiri gue.

Gue menggeleng. "Buat Dina."

Adish berdecak. "Gue pikir kita sehati karena sama-sama beli makanan buat sarapan. Ternyata yang lo beliin malah si Dina mulu." Sekarang cowok itu malah monyongin mulut kayak cocor bebek. "Mana gue disuruh nunggu di perempatan mulu tiap pagi. Untung gue ganteng, jadi nggak dikira abang alay perempatan."

Gue tertawa. Ini adalah salah satu sifat Adish yang baru muncul ketika kita pacaran. Mulutnya lemes banget kayak ibu-ibu sayur. Kalau udah gosip berdua Dina, wah, rame. Gue cuma jadi pengamat doang di pojokan.

Gue perhatiin wajahnya yang sekarang kusut dan mulutnya yang sibuk ngedumel sendiri. Gue cubit pipinya, gemas.

"Kalau lo lebih sayang sama Dina, nggak usah cubit-cubit gue, deh, Ndy. Gue tau, kok, gue cuma orang ketiga di antara kalian." Adish masih ngedumel.

"Ribet banget lo kayak knalpot bajaj. Untung pacar."

Adish ketawa waktu mendengar omelan gue. "Besok, gue jemput di rumah lo aja, ya? Nggak usah nunggu di perempatan lagi."

RetrospeksiWhere stories live. Discover now