17 - Hati dan Penampungan Binatang (2)

202 52 11
                                    

Gue melangkah gontai menuju lift. Hari ini hari Jumat, dan Life Up jam istirahatnya bakal panjang banget. Dina dan anak kantor yang lain malah ngemall, sementara gue hilang semangat, dan baru bergerak saat menyadari kalau galau nggak bisa menunda lapar.

Dentingan lift berbunyi, tepat saat pintunya terbuka, gue mematung. Danu Prabasuyasa, yang sudah beberapa hari ini gue hindari, juga ikut mematung. Waktu pintu lift bergerak buat menutup, gue baru sadar, dan Pak Danu cepat-cepat menekan tombol agar pintu lift tetap terbuka, sebelum keluar dan berjalan melewati gue begitu aja.

Gue menghela napas, sebelum masuk ke dalam lift. Mungkin ini juga termasuk hal yang membuat tingkah gue suram banget beberapa hari ini.

"Yang penting itu opini kamu. Kamu suka nggak, Ndy?"

Gue inget waktu Pak Danu bertanya malam itu, dan bagaimana gue menolak beliau pelan-pelan, menerangkan bahwa gue nggak bisa menerima niatnya, dan nggak bisa maju lebih jauh dari sekadar hubugan team leader dan staffnya. Gue tau, mungkin akan terkesan geer banget, gadis tua ini, di akhir 20 tahunannya, malah menolak orang dengan alasan tidak bisa move on dari kisah lamanya.

Jujur, gue menghormati Pak Danu, yang sejak awal sudah memberi tau dengan jelas apa maksud dan tujuannya untuk mengenal gue. Tapi, perasaa gue, yang dipupuk sedikit demi sedikit selama dua belas tahun, nggak semudah itu dilepas.

Katakanlah yang gue pelihara itu anjing. Kalau si anjing itu udah selalu ada buat gue selama dua belas tahun, apa gue bisa cari peliharaan lain dengan mudahnya?

"Pak, makasih karena udah bantuin saya belakangan ini." Kalimat itu gue lontarkan pelan-pelan, sambil menatap lurus ke matanya. "Tapi saya nggak bisa kayak gini."

"Bukannya saya nggak mau mengenal Bapak. Tapi, masa penyembuhan saya ternyata butuh waktu yang lebih panjang dari yang saya sadari. Bukannya saya nggak bisa percaya buat Bapak, tapi ... saya benar-benar masih berharap, apa yang saya punya dulu bakal balik sama saya."

"Mungkin ini cuma perasaan sesaat Bapak, jadi ... bisa nggak ... kalau kita lupain aja?"

Gue menghela napas panjang, sebelum memijat pelipis. Memang nggak bisa dipungkiri, gue masih berada dalam fase-fase masa berkabung. Kalau aja gue tau Pak Danu bakal mepetin gue seniat itu, mungkin gue bakal tarik garis sejak awal.

Gue nggak berpikir dia jahat. Gue sudah tau dia sejak kita ditugaskan di tim yang berbeda, dan setau gue, si manusia goa itu nggak pernah ada kasus yang macem-macem. Berbeda dengan gue yang selalu dibilang menikah tapi tidak menikah, pacaran tapi seperti menikah.

Sekarang, gue berakhir masuk ke kafe yang berada di depan tower kantor. Di depan tower tempat kantor gue berada, berderet beberapa kafe dan kedai-kedai kecil. Suasananya sudah pasti rame banget, di jam makan siang kayak sekarang. Dan kafe yang gue masuki adalah kafe tersepi di antara yang teramai.

Di saat mood gloomy kayak gini, kayaknya magerin banget kalau harus dempet-dempetan makan, apalagi kalau kebagian tempat duduk di outdoor. Gue duduk di sudut paling ujung, dekat meja kasir, karena di sana kursinya sengaja disusun buat satu meja satu orang. Gue lagi nggak mood buat berdempetan dengan segerombol orang lain sekarang.

"Mbak mau langsung pesan atau liat menunya dulu?" Seorang pelayan berkata pada gue setelah menaruh buku menu ke atas meja.

"Langsung aj—"

"Mbak, ini bisa minta take away aja, nggak?"

Gue membatu ketika mendengar suara itu. Seolah gerakan slow motion, gue menatap lelaki yang sekarang berdiri di meja kasir. Adish Antasena.

***

Di sinilah kami berakhir sekarang. Jam istirahat gue sudah selesai, tapi gue dan Adish masih duduk berhadapan di tempat duduk depan kafe. Gue yang menahannya supaya nggak pergi, tapi gue juga yang membatu sambil megangin gelas teh panas yang udah nggak panas lagi.

Adish sempat menolak, yang membuat gue harus memohon dua kali, dan gue tau banget, Adish nggak bisa menolak hal semacam itu.

Gue lirik wajahnya sekilas, yang sekarang memandang ke samping dan masih sibuk dengan rokoknya. Ciri khas Adish kalau lagi banyak pikiran.

Gue nggak tau, di antara kami siapa yang berubah. Dan betul, gue marah, gue benci karena Adsih ninggalin gue. Tapi nggak pernah sedetik pun, dia pergi dari mikiran gue. Dan ketika semua rasa benci itu berkumpul jadi satu, ketika gue berpikir untuk menyalahkan dia sepenuhnya, rasanya jauh lebih sakit lagi.

Sekarang, ketika gue liat wajah Adish kayak gini, gue tau, kalau di dalam hati gue, gue cuma mau kami kembali. Gue kangen. Sesimpel itu.

"Nggak ada yang mau diomongin, Ndy?"

Lelaki itu mematikan rokok lalu membuangnya di asbak, yang bikin mata gue buram, tap sekuat tenaga gue tahan.

"Lo ... apa kabar?" Suara gue keluar kecil banget, rasanya kayak semuanya berkumpul di tenggorokan tapi nggak bisa keluar.

"Ndy ...." Raut wajah Adish berubah. "Gue udah—"

"Gue seneng kalau lo baik-baik aja." Gue menunduk, karena sekarang gue udah nggak bisa nahan air mata gue lagi. "Gue seneng banget lo baik-baik aja."

"Ndy, lo bukan orang yang kayak gini." Adish berkata lirih.

"Gue berusaha nerima keputusan lo buat pisah, tapi ... kenapa rasanya susah banget?" Gue berusaha menarik napas. "Gue ... gue nggak tau harus mulai dari mana. Gue rasa gue nggak bisa begini. Semua hal yang gue liat, even di rumah, cuma lo, Dish. Bahkan ketika gue tidur, gue kebayang sama kita. Ketika gue makan, gue inget gimana muka lo ketika capek banget pulang kerja dan makan masakan gue buru-buru saking laparnya."

Gue menggigit bibir, merasakan emosi yang rasanya mau meluap. "Dish ... gue nggak merasa waktu yang kita lalui itu cuma sebentar, dan gue nggak berpikir kalau hal semacam ini bisa terjadi saat gue udah kenal lo terlalu dalam."

Adish mengalihkan wajah saat gue berusaha menatapnya.

"Gue salah apa?" Air mata gue beneran udah turun malu-maluin. "Kenapa lo mau pisah?"

Adish menatap gue saat mendengar suara gue yang setengah terisak. Dari sorot matanya, gue seolah melihat Adish yang gue kenal dulu.

"Sandy, gue udah bilang. Ini bukan salah lo, tapi kita aja yang nggak cocok. Gue nggak bisa jadi lebih berengsek dari ini, Ndy. Tolong jangan gini."

"Lo ... nggak bisa balik sama gue, Dish?" Gue raih kedua tangan Adish dan menggenggamnya erat, membuat Adish memandang putus asa. "Apapun ... apapun alasan yang lo kasih, gue bisa terima. Kalau memang gue harus berubah, gimana pun itu gue bakal berubah, selama itu bisa bikin lo kembali, gue bisa terima."

Lama Adish diam, membiarkan gue yang nangis sesegukan sambil menggenggam tangan dia. Adish nggak menggenggam tangan gue balik, cuma membatu, diam dan memperhatikan gue nangis tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

Gue cukup tau diri ketika diperlakukan seperti itu, perlahan gue lepas tangan Adish. Gue tatap dia dalam-dalam. Dia cuma memutar kotak rokok beberapa kali, sebelum beranjak berdiri.

"Kemarin bos gue cerita. Kalau dia trauma buat membuka hati karena hatinya diperlakukan seperti tempat penampungan binatang. Sekalinya dibuka dengan penuh harap, yang masuk malah anjing—"

"Lo boleh nganggep kita begitu, Ndy." Adish tersenyum sebelum beranjak pergi. "Tapi, kabar baiknya adalah, ketika seekor anjing pergi, dia nggak pernah nutup pintu."

Berengseknya, sebelum melangkah menjauh, dia usap pipi gue.

"Lo pasti nemuin yang lebih baik dari gue."

***

RetrospeksiWhere stories live. Discover now