13 - Katanya, Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti

220 59 23
                                    

Satu-satunya hal yang gue rasakan adalah mual, sebelum menyadari kalau gue tidur semalaman dengan muka yang berhadapan dengan telapak kaki Dina. Sial, pantes mualnya makin menjadi-jadi. Abis nyiumin kaki si kutil ini ternyata.

Cepat-cepat gue lari ke kamar mandi saat gue rasakan perut gue hampir meledak, sebelum akhirnya semburan itu keluar ketika gue baru seperempat jalan. Sial. Ini gue muntah di jaket siapa?

"Ndy ...."

Gue menoleh, melihat Dina yang baru aja bangkit dari tempat tidur. Rambutnya masih acak-acakan, ada yang berdiri, ada juga yang rebahan cantik.

"Lo ngapain duduk di situ?" Dia mengucek mata sebentar, sebelum menyipit memperhatikan gue dan melompat dari tempat tidur lalu berlari ke arah gue. "Anjir, Ndy. Jaket gue! Sumpah, gue belinya nyicil, Ndy!"

Gue perhatikan lagi muka Dina yang sekarang panik, tangannya masih gemetar, mungkin masih menimbang mau ambil jaketnya atau nggak.

"Anjir, sial. Lo kalo mabok jelek banget, dah. Gimana dooong ...." Sekarang dia malah merengek, persis kayak anak SD yang enggak dibeliin tamagochi sama bokapnya.

Sejujurnya, sekarang gue udah mulai paham kondisi. Tapi badan dan otak gue sepertinya masih nggak sinkron, jadi gue cuma ngelamun doang ngeliatin si kutil biawak merengek kayak gitu.

Bel apartemen gue tiba-tiba bunyi. Kita berdua malah saling bertatapan, seolah ngomong lo aja yang buka sana, Nyet. Tapi nyatanya, kita cuma duduk di tempat yang sama, sampai ketika ponsel gue ikutan berdering berkali-kali, beradu dengan bel di ruang depan.

"Buka sana buruan!" Dina mendorong pundak gue berkali-kali, sebelum bergerak buat mengangkat jaketnya pelan-pelan biar pelangi laknat ciptaan gue nggak tumpah ke mana-mana.

Sementara gue mulai berdiri, dan berjalan pelan ke arah pintu depan.

"Sandynya nggak di rumah, besok aja ke sini lagi."

Gue bahkan nggak paham kenapa gue ngomong kayak gitu barusan.

"Heh bocah kurang ajar! Buka pintu! Buru!"

Badan gue tiba-tiba tegang. Spontan, gue noleh ke arah Dina yang baru aja mau masuk ke kamar mandi dan ekspresi si kutil itu nggak jauh beda sama gue. Kita bertatapan beberapa detik, sebelum langsung melesat ke dapur dan membereskan peralatan sisa perang kita semalem.

"Jangan buang di kotak sampah, Bego! Nyokap gue ngecek nanti!" Kaki gue gemetar, sementara tangan gue bergerak cepat buat membereskan barang yang tercecer sebelum beralih buat membersihkan ruang tamu.

"Jadi tarok di mana, Goblok?" Dina malah melotot ke gue, mukanya ikutan pucat pasi.

"Gue tau gue tau! Buang labelnya, isi air. Kita bilang itu botol marjan!"

"Marjan bening, Goblok!"

"Ya botol apa kek kalo bukan marjan. Kecap kek bilangnya." Gue masih fokus membereskan tisu yang berserakan karena gue nangis kayak orang gila semalam, sebelum merasakan tendangan Dina di pantat gue.

"Masih mabok ya lo?" Dia melotot.

Napas gue masih engap dan gue memandang dia dengan pandangan bingung. "Ya jadi gimana dong. Kalau ibu tau kita jadi orang gila kayak semalem, nanti kita dibotakin. Mau lo dibotakin?"

"Ah! Yaudahla! Pokoknya lo cuci muka, kumur-kumur, sama ganti baju dulu sebelum bukain nyokap lo. Botolnya urusan gue." Dina berlari seraya memeluk tiga botol minuman laknat yang bikin perut gue kayak diblender pagi ini.

Sementara gue masih bergerak cepat, buru-buru ganti baju, dan mencium bau badan gue sendiri. Semoga yang kecium cuma bau ketek, amin.

Cepat-cepat gue berlari ke arah pintu depan, sebelum bel di apartemen gue rusak gara-gara dipencetin ibu berkali-kali.

RetrospeksiUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum