14 - Jurus Maut Adish

203 54 7
                                    

Sebelas tahun lalu.

***

From: Adisya (Cewek, Temen Sandy)

M3t pG! @Y!

Q d DpN <3

Gue benaran baru bangun tidur waktu baca pesan singkat barusan, dan sialnya jantung gue langsung berdebar kencang plus kaki dan tangan gue mendadak tremor ringan. Otak gue berpikir, mencerna seluruh arti kode morse jadi-jadian yang dikirim Adish barusan.

Gimana ini? Gimana ini?

Badan gue mulai bergerak maju mundur kayak penyembah setan. Bukannya gue nggak bahagia didatangin Adish di minggu pagi yang cerah ini, tapi, gue harus ngomong apa ke ibu dan bapak?

Selama ini, gue ngaku sama ibu kalau orang yang sering SMS-an sama gue cuma dua, Dina dan Adisya. Dua-duanya cewek, temen akrab gue sekolah, dan pembicaraan kita nggak jauh-jauh dari PR. Tapi gimana ceritanya, kalau tiba-tiba nama samaran yang gue buat untuk Adish malah ketauan sama ibu dan bapak? Apalagi kalau ketauan kalau Adish pacar gue, tamat sudah riwayat kita berdua.

Dulu bapak pernah bilang, kalau bakal menggantung cowok manapun —literally digantung di depan rumah pakai tali— yang berani jadi pacar gue. Dan sekarang Adish —yang selama ini gue sebut Adisya di depan orang tua gue— malah berani-beraninya datang ke rumah.

Gue enggak mau pacar imut kesayangan gue digantung di depan rumah. Kalau satu komplek terpesona gimana?

"SANDY! ADA TEMEN!"

Gue langsung terlonjak, dan berdiri gemetaran di samping tempat tidur. Otak gue berputar mencari alasan, kira-kira harus ngomong kayak gimana sama ibu dan bapak nanti.

Pintu kamar gue dibuka lebar-lebar, yang bikin gue kaget setengah mati sampai mau pipis di celana.

"Ada temen kamu. Buruan." Ibu menatap tajam, yang bikin gue makin panas-dingin. "Ganti baju kamu, jangan pake singlet kudel begitu."

Gue menunduk, menatap baju yang gue kenakan, sebelum menutup pintu kamar secepat kilat dan mengganti baju. Setelah itu, dengan tangan yang masih gemetar, gue melongokkan kepala dari sela-sela pintu kamar. Jantung gue malah terasa berhenti berdetak waktu liat Adish ngobrol berdua sama Ibu sambil tertawa. Bahkan Ibu siapin piring kecil yang isinya pisang goreng di meja ruang tamu. Seakrab itukah?

Beberapa saat kemudian, mata Adish dan gue bertemu, dia melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Ibu ikutan menoleh, memperhatikan gue sambil geleng-geleng.

"Ngapain ngintip begitu? Sini."

Gue menggigit bibir sekilas, sebelum berlari kecil buat berjalan ke arah ibu.

Adish ikutan berdiri, tiba-tiba menggandeng tangan gue yang bikin gue jadi bergidik sendiri, dan senyum manis ke arah ibu.

"Bu, Adish boleh ajak Sandy sarapan bareng, 'kan?"

***

Gue perhatiin wajah Adish yang masih melahap bubur dengan tentram. Dari tadi, cowok ini sama sekali nggak ngomong apapun, cuma senyum-senyum nggak jelas dan makan bubur seolah itu bubur terenak yang pernah dia temui.

"Makan, buruan. Ntar bubur lo keburu kena ee burung."

Gue menghela napas ketika mendengar perkataan Adish barusan.

"Coba liat ke atas," ujarnya lagi, yang membuat gue refleks mendongan dan menemukan deretan burung dara yang lagi bertengger di kabel listrik tepat di atas meja kita. "Buruan makanya. Kalau apes bukan salah gue loh."

Gue aduk-aduk bubur di depan gue, dan cepat-cepat menyuapkan bubur itu ke dalam mulut. "Lo beruntung datang ke rumah pas bapak udah berangkat ke proyek. Kalau ada bapak, gue udah nggak tau gimana nasib lo."

RetrospeksiWhere stories live. Discover now