22 - Strategi Uji Coba

153 41 44
                                    

Sekarang udah nggak masuk musim hujan lagi, tapi udah tiga hari langit gelap dan panas pengap luar biasa. Makanya pas Dina ngajakin gue buat survey outdoor, gue menghindar. Mending gue sibuk bikin laporan dan gabut di kantor ber-AC dari pada panas-panasan terus bau ketek.

Jadilah gue hening dari tadi, nggak ada kerjaan karena laporan udah selesai, pihak-pihak yang kami outsource juga udah gue hubungi, dan nggak ada lagi tugas menumpuk yang harus dikerjakan karena event emang lagi sepi. Even Pak Danu yang biasa bolak-balik ke sana-sini aja, nanyain progress-nya udah berapa persen, hari ini duduk diam di ruangan. Dalam satu bulan, Pasti ada satu hari Jumat yang kondisinya kayak gini.

Geng-nya Mbak Rosa masih sibuk rumpi sambil liatin diskon Shopee. Gue lirik jam di tangan, masih pukul sebelas. Masih ada beberapa—banyak— menit lagi sampai waktu makan siang.

"Ndy! Ndy!" Heri melesat dari pintu ke kubikel gue, lalu menatap panik sambil menetralkan napas. "Gue ketemu mantan lo."

Pupil mata gue melebar. Penasaran, tapi kayaknya nggak memberikan efek apa pun di dalam hati gue.

"Gue kan mau sewa hall yang di deket Blok M. Buat acara rapat tahunan. Tapi, gue rupanya ketemu dia, dan dia nyewa di tanggal yang sama kayak gue."

"Terus? Lo mau minta dia buat pindah tanggal jadi kita bisa pak—"

"Dia nikah."

Gue diam. Perkataan yang tadinya nggak menimbulkan efek apa-apa buat diri gue, sekarang mulai merasa mengambil alih syaraf. Seingat gue, kami putus belum terlalu lama —seenggaknya dibanding dengan kata dua belas tahun, beberapa bulan aja nggak terasa lama. Dan bagaimana bisa ... menikah ... secepat itu ... bahkan gue—

"Jadi dia mutusin kamu buat nikah sama orang lain?"

Gue mendongak, menatap Mbak Rosa yang entah sejak kapan udah nimbrung di kubikel gue. Lalu menyadari bahwa hal yang dibawa oleh Heri udah menyita perhatian beberapa orang di ruangan.

"Bajingan emang."

"Dia pacaran sama kamu udah lama banget kan, Ndy, masa baru berapa bulan ... fix sih, selingkuh berarti."

"Dia pernah lamar kamu, Ndy?"

Gue diam. Bingung mau respon kayak gimana. Mental gue masih breakdance, tiba-tiba disodori berbagai pertanyaan yang mungkin gue aja nggak sadar kalau jenis-jenis pertanyaan kayak gitu ada. Akhirnya gue tertawa. Sumbang.

"Kuat banget kamu." Mbak Rosa nepuk pundak gue. "Gimana caranya kamu tahan dua belas tahun, Ndy ... Ndy ...."

Gue juga nggak tau. Kok bisa gue bertahan selama itu. Kali ini gue juga ketawa. Makin ling-lung.

"Ngapain aja kalian selama itu? Sampe dia bisa-bisanya berpikir—"

"Heri, pinjem motor."

Suara itu memotong pertanyaan-pertanyaan penyebab mental breakdance, dan membuat gue menoleh lalu menemukan Pak Danu yang mengenakan kaos oblong dengan rambut dikucir satu sedang menadahkan tangan di depan Heri.

"Mobil saya diderek, pinjem motor kamu dulu."

Heri menghela napas jengkel. "Yah, kok motor saya terus, Pak? Enggak minjem yang laen a—"

"Nanti ada uang rokoknya." Perkataan Pak Danu itu membuat Heri menyerahkan kunci motornya dengan mudah. Lalu, lelaki itu noleh ke arah gue. "Sandy, ikut saya. Meeting klien."

Gue diem, mencerna perkataan Pak Danu, terus memperhatikan punggung beliau yang berjalan menjauh. Meeting klien siapa di musim sepi begini? Naik motor pula. Belum lagi kl keinget kejadian yang bikin gue —

RetrospeksiWhere stories live. Discover now