23 - Bedanya Jatuh Cinta Saat Sudah Dewasa

394 52 37
                                    

Gue nggak gila, gue nggak gila, gue nggak gila.

Gue pasti menghormati seorang Danu Prabasuyasa, dan enggan buat bikin dia menderita. Jadi semua hal yang gue lakukan sekarang adalah hal yang wajar. Bukan semata-mata keputusan kurang waras dari seorang perawan tua. Oke, tarik napas pelan-pelas, hembuskan lewat pantat.

Alih-alih menjadi tenang, gue malah merosot ke lantai, menghentak-hentakkan kaki, sebelum berteriak tanpa suara. Melirik sekilas ke sepasang sepatu basah di dekat pintu masuk, dan suara air yang terdengar dari dalam kamar mandi, membuat gue memukuli kepala.

Goblok. Mana ada manusia waras yang mengiyakan trial pacaran dari team leader-nya dan sekarang mengundang orang itu ke apartemen yang lo tinggali sendirian. Sial-sial-sial. Gue goblok. Gue kesurupan. Pasti.

"Bapak ... mau mampir dulu?" Gue inget nanya kayak gitu sambil menunduk malu-malu, sebelum suara rintik air hujan mendominasi ruang di antara gue dan Pak Danu.

Si Manusia Goa itu diam sejenak, dan pada akhirnya mengangguk pelan. Setelah mendapat respon seperti itu, gue malah galau setengah mati. Sekarang hari masih sore, tapi langit Jakarta udah gelap banget. Dan ketika masuk ke apartemen, kita berdua canggung. Basa-basi tentang siapa yang mau mandi duluan, dan berdiri salah tingkah dengan baju yang sama-sama basah kuyup.

Gue bergerak menggosok wajah. Dingin. Betul, dingin.

Pak Danu juga pasti kedinginan juga. Jadi ... yang gue lakukan sekarang bukan tindakan tolol perawan tua kesepian, tapi merupakan hal yang selayaknya dilakukan oleh manusia budiman dengan hati lembut yang tidak akan tega melihat manusia lain kedinginan. Betul, pasti begitu. Ini adalah aksi dermawan seorang Sandy Wijaya.

"Hujannya masih deras banget, ya?"

Suara itu membuat gue tersadar dan mengalihkan pandangan pada Pak Danu yang baru aja keluar dari kamar mandi. Dan gue menemukan kenyataan bahwa darah gue tidak mengalir ke kepala, paru-paru gue stuck, pencernaan berhenti bekerja, dan bagaimana kombinasi ketiga hal itu membuat sensasi berbeda yang menguasai rongga dada gue dengan sempurna.

Gue nggak pernah berpikir kalau gue bakal ngerasain kena heartshot gara-gara ngeliat Tarzan yang rambutnya lepek abis mandi.

"Kamu ngapain duduk di situ?"

Suara Pak Danu lagi-lagi menyadarkan gue, bikin gue cepat-cepat berdiri dan menggerakkan tangan salah tingkah. "I-itu ... tadi ... kepanasan." Gue tertawa kaku. "Kayaknya harus duduk di bawah AC. Hehehe ...."

Gue melangkah cepat ke sofa, duduk tegap, dan merasakan terpaan angin AC yang jatuh langsung ke wajah. "Panas banget. Padahal hujan deres."

"Kamu lucu juga kalau salting." Pak Danu tertawa sambil mengambil posisi buat duduk di samping gue.

"Dih, geer." Gue menjawab sekenanya.

Pak Danu lagi-lagi tertawa. "Ndy."

"Apa?"

"Kamu masih nyimpen barang-barang punya dia?"

Gue butuh waktu sejenak buat mencerna maksud perkataan Pak Danu, dan menyadari kalau yang lagi dia bahas sekarang adalah Adish. "Masih."

"Baju ini juga?" Pak Danu menunjuk baju kaus lengan panjang berwarna merah tua yang ia kenakan.

Gue mengangguk.

"Sikat gigi di kamar mandi juga ada dua. Punya dia juga?"

Gue mengangguk sekali lagi, dan kali ini Pak Danu nggak bertanya lagi. "Bapak nyesel, ya, ngasih saya trial?"

"Pas saya pake baju ini sekarang, kamu jadi keinget dia atau nggak?" Lelaki itu mendekatkan tubuh, dan menatap lurus ke mata gue. "Kalau kamu liat baju ini sekarang, siapa yang ada di otak kamu?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 22, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RetrospeksiWhere stories live. Discover now