16 - Hati Dan Penampungan Binatang

215 55 23
                                    

Suara gemuruh yang menggelegar menyapa telinga gue tepat ketika gue, Ibu dan Bapak sampai di teras lobi rumah sakit. Gue perhatiin Bapak yang masih keliatan lemas banget duduk di kursi roda, sementara Ibu masih celingukan kanan kiri.

"Ndy, mobilnya apaan?" tanya Ibu.

"Avanza hitam 1243 ABG. Tapi nggak tau nih abangnya di mana. Kalau di maps-nya sih udah di depan. Tapi aku chat sama telepon nggak angkat-angkat." Gue memperhatikan layar ponsel prihatin.

Tiba-tiba Ibu menyampirkan tas jinjingnya di pegangan kursi roda bapak. "Ibu cari dulu deh. Keburu banjir nanti gang depan rumah."

"Eh-eh, Bu." Cepat-cepat gue tahan tangan Ibu. Lantai teras lobi ini udah setengah basah gara-gara bekas langkah kaki orang yang berjalan ke sana kemari. Kalau sampai Ibu kepeleset, bisa barabe. "Ibu tungguin Bapak di sini. Aku yang cari."

Barisan motor yang merapat di teras lobi membuat gue makin susah mencari taksi daring yang gue pesan tadi. Mata gue sibuk mencari-cari Avanza hitam, yang sialnya semua mobil yang mengantri adalah Avanza, dan lima di antaranya berwarna hitam.

Dengan modal telapak tangan menutupi kepala, gue berlari-lari kecil buat memperhatikan satu per satu plat mobil Avanza hitam yang berbaris di depan rumah sakit. Gue merutuk dalam hati, kenapa bisa-bisanya gue lupa bawa kaca mata hari ini.

Gue sudah berlari sampai ke tempat pengambilan karcis parkir, tapi mobil Avanzanya nggak ketemu juga. Refleks, gue cek laman aplikasi taksi daring di ponsel, yang sialnya, order gue malah dibatalka sama si driver.

Dari tadi kek, Pak, jadi nggak ribet saya lari-lari begini.

Napas gue masih tersengal, rambut udah lepek nggak jelas karena lari-lari di bawah hujan, baju udah setengah basah, sial pula ketemu driver laknat begitu. Cepat-cepat gue balik ke teras lobi, sebelum badan gue masuk angin karena kelamaan main hujan.

"Bu, di-cancel. Dari tadi aku pesen pas kita masih di tempat obat juga pada cancel mulu. Apa karena macet, ya, jadi pada nggak mau ambil."

"Iya, saya tunggu di sini, ya, makasih banyak, loh." Alih-alih menjawab gue, Ibu malah sibuk dengan sambungan teleponnya. "Udah, kita tinggal tunggu aja. Ibu udah minta tolong," ujar Ibu setelah memasukkan ponsel ke tas.

"Minta tolong siapa jam-jam begini?" Gue menatap Ibu bingung.

"Danu."

Gue mengernyit. "Hah? Siapa?"

"Danu. Preman cakung yang suka sama kamu itu."

Gue terdiam sesaat, mengolah informasi yang terasa terlalu besar untuk diproses oleh saraf otak gue.

"Pak, Danu itu orangnya emang serem. Lebih serem dari temen-temen Bapak pas dapet proyek di bangunan dulu. Tapi dia baik kok, kayak kucing."

Suara Ibu yang berbisik pada Bapak terasa masuk ke dalam indra pendengaran gue, dan membuat kinerja orak gue yang sempat nge-lag, sekarang berjalan lancar. "Bu, jangan bercanda."

"Dia mau, kok, Katanya kebetulan lagi di daerah sini. Lima belas menit lagi sampe."

"Dia itu bosku, Bu."

"Terus?"

"Engggggh ...." Emosi dan perasaan aneh di dalam diri gue terasa bergumul, bikin gue mengerang dan bergerak ke sana kemari kayak ulat nangka. "Gimana aku di kantor, Bu."

Kayaknya Ibu sama sekali nggak peduli pada nasib gue, sementar perasaan gue semakin buruk seiring dengan waktu berlalu. Dan gue rasa, mungkin baju gue benaran udah basan karena campuran sisa air hujan dan keringat dingin saat Fortuner hitam itu berhenti tepat di depan lobi.

RetrospeksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang