9 - Setan di Sudut Warung Bakso dan Segala Godaannya

212 58 14
                                    

Baju gue udah mulai kerasa basah. Sayup-sayup suara geledek udah kedengaran, angin tambah kencang, beberapa kali gue rasakan Pak Danu menggigil. Herannya, badan gue mati rasa. Otak gue seolah ling-lung, kosong. Badan gue udah nggak ada energi apa-apa.

Rasanya aneh aja, liat Adish ada di samping wanita lain. Ngeliat Adish yang nggak menyapa gue dengan semangat kayak biasa, atau matanya yang sama sekali nggak berbinar waktu ngeliat gue.

Gue akui, dua belas tahun itu waktu yang panjang. Mungkin aja, wanita kayak gue nggak terlalu baik untuk dicintai dalam waktu sepanjang itu. Tampang biasa-biasa aja, uang biasa-biasa aja, fisik begitu-begitu aja, tingkah juga kadang masih kurang segayung, nggak akan pantas dicintai dalam jangka waktu selama itu, 'kan?

Wajar aja Adish bosen.

"Lo pacaran selama itu, ngapain aja biar nggak bosen?"

Gue inget hal yang sering ditanyain temen-temen ke gue. Hubungan gue sama Adish adem ayem mulu. Kalaupun berantem, nggak sampai dua hari udah baikan. Harusnya ... gue melakukan banyak hal buat mempertahankan hubungan kita, 'kan? Atau ... ternyata gue udah kasih terlalu banyak hal, sampai Adish merasa ... dia sudah cukup sama seorang Sandy Wijaya dalam hidupnya.

Jujur, kalau ditanya, gue nggak akan pernah bisa membayangkan hidup gue tanpa Adish. Semua hal dalam hidup gue pasti berhubungan sama Adish. Gue sudah tau semua aspek dalam dirinya, dan entah kenapa, sampai hari ini gue tetap nggak merasa muak dengan itu semua.

Adish bukan laki-laki jahat. Dia juga bukan orang yang tebar pesona dan janji. Jadi ... entah kenapa ... rasanya asing kalau Adish sudah menemukan pengganti gue secepat itu.

Sementara gue, bahkan belum bisa mandang selimut yang dulu kita pakai sama-sama, piring dan gelas kembar yang kita beli khusus berdua, lampu-lampu jalan di sekitaran Gandaria, bahkan ngeliat lapak sate di Radio Dalam aja bikin hati gue ciut.

Bajingan emang lo, Ndy.

Rasanya gue masih sulit buat percaya, kalau Sandy Wijaya dan Adish Antasena mungkin udah nggak layak untuk bersanding di dalam satu barisan yang sama lagi. Mungkin aja —

"Sandy?"

Panggilan yang keluar dari mulut Pak Danu bikin gue sadar. Ternyata sekarang motor kami sudah menepi, rintik air semakin deras, dan wajah gue sudah basah, entah karena air mata atau air hujan.

"Iya?"

Sial. Ternyata gue beneran nangis. Bahkan suara gue nggak keluar sama sekali waktu berusaha buat jawab Pak Danu barusan.

Memang bajingan lemah lo, Ndy.

"Saya kedinginan. Kita nunggu hujan reda di sini dulu nggak apa-apa?"

Gue perhatiin lelaki yang baru turun dari motor itu. Bener aja, Pak Danu beneran udah kebasahan. Bahkan brewoknya yang biasanya membahana, sekarang jadi lepek.

Ndy, lo yang galau, kenapa malah bikin orang lain masuk angin, sih?

"Oke. Karena kamu nggak jawab, berarti oke, ya?" Dia mendekatkan tubuh ke arah gue. "Kamu nggak perlu buka helmnya. Take your time. Tapi, kamu bisa tolong turun dari motor sebentar?"

Take your time apanya. Manusia goa ini mau ngejek gue karena nangis, ya?

Cepat-cepat gue turun dari motor, bedeham, dan mempersiapkan tenaga untuk ngoceh ke team leader jelek ini.

"Saya sempet simpen jaket saya di dalem jok motor. Semoga nggak basah."

Belum sempat gue ngoceh, Pak Danu malah mengibas-ngibas jaket yang baru dia ambil dari dalam jok motor dan memakaikannya di tubuh gue.

RetrospeksiWhere stories live. Discover now