18 - Alasan Untuk Tetap Bersama

238 52 16
                                    

Sebelas tahun yang lalu.

***

"Ndy. Sandy. Boleh buka pintunya sebentar, nggak?"

Gue yang masih menggulung tubuh dengan selimut, malah bergerak buat menyumpal telinga dengan bantal.

Gue tau, mungkin gue jadi contoh anak terbangsat yang pernah ada. Dua hari setelah Bapak masuk rumah sakit, beliau belum juga sadar sama sekali. Dan sialnya, gue malah dongkol setengah mampus.

Ibu benaran nggak tau apa yang harus dilakukan di kondisi sekarang, mandor tempat Bapak bekerja cuma menampakkan diri sesekali, ngeliat Bapak, terus pulang tanpa membantu apa-apa. Kasih buah tangan aja nggak. Sementara keluarga gue, yang emang udah dasarnya nggak punya banyak uang, malah harus menggadaikan semuanya karena ada kondisi tiba-tiba kayak gini. Termasuk dengan harapan gue untung menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi.

Gue tau, rata-rata cewek yang tinggal di gang sempit ini cuma tamatan SMA. Boro-boro kuliah, dapet kerja jadi penjaga toko atau setingkatnya aja udah bersyukur pake banget. Jangan muluk-muluk berpikir buat jadi wanita karir, karena di sini dua tahun lewat dari kelulusan, mereka udah pada ngelahirin.

Gue tau, mungkin harusnya gue nggak bermimpi dulu, belajar sampe mampus, nyusun cita-cita buat melangkah keluar dari sini, apalagi sampai harus menampik seluruh kenyataan yang sekiranya memberi satu jalan keluar; Sandy, harusnya lo nggak usah bermimpi.

Toh juga, kalau dipikir-pikir lagi, mau punya surat rekomendasi atau nggak, pinter atau nggak, masa depan kayak gitu udah terlalu tinggi buat latar belakang gue.

Seketika hati gue emosi karena pernah ngumbar soal cita-cita gue, dan bikin bapak dan ibu ber-euforia serta mengaminkan itu semua. Gue nggak tau apakah ini termasuk perilaku anak durhaka, yang jelas gue beneran gondok sampe mampus, kecewa, dan sakit hati aja sama semua kondisi yang ada. Hal kayak gini benaran bikin gue males sama semua kondisi yang ada.

"Sandy, bangun sebentar, ya?"

Gue berdecak sebal, lalu duduk dan melempar bantak ke arah pintu kamar. "Dish, kalau ibu nyuruh lo buat nungguin gue di sini, mendingan lo pergi."

"Buka dulu pintunya. Gue mau liat lo."

Gue memilih untuk menggulung diri dengan selimut. Rasanya beneran gue nggak mau liat dunia luar lagi. Mental tempe memang, tapi hati gue masih sakit karena gagal bermimpi.

"Gue bawain lo pangsit yang di depan SD Kartika." Adish mengetuk pintu kamar gue lagi. "Lo tau kan beli pangsit di sana antre? Ini kuahnya gue pisahin."

Gue memilih buat nggak menghiraukan itu.

"Saos kacang pake kecap dua sendok cabenya tiga sendok. Apa lo butuh Pop Ice Vanilla Blue juga? Biar gue beliin sekalian."

"Ndy, gerimis ... BUSET JEMURAN NYOKAP LO NDY!"

Suara langkah kaki Adish yang berlari-rari di ruang tengah rumah gue terdengar. Sebelum pintu terbanting menggelegar yang membuat gue terduduk di ranjang. Berpikir kalo mungkin aja si Adish ngejengkang gara-gara lari ke tempat jemuran yang lantainya lumutan.

"Dish?" Gue melongok dari sela pintu, tapi Adish nggak menjawab sama sekali. "Adish?" Gue berteriak lebih keras.

Belum ada jawaban yang gue terima, cuma rintik hujan yang menggema di dalam rumah gara-gara atap seng. Sesaat kemudian, terdengar debuman besar dari belakang. Cepat-cepat gue lari ke belakang, dan menemukan Adish yang terduduk di semen.

"Lo ngapain?" Gue memperhatikan dia dari ambang pintu, sementara Adish meringis saat mencoba berdiri. Lutut kanannya berdarah, tapi dia ketawa dan berjalan ke arah gue sambil bawa gantungan jemuran yang biasa digunain nyokap buat jemur daleman.

RetrospeksiWhere stories live. Discover now