15 - Pengobatan Pasca Patah Hati

202 57 22
                                    

"Sandy!"

Gue merasakan gendang telinga gue hampir meledak gara-gara anak-anak LifeUp malah teriak tepat setelah gue membuka pintu ruangan. Gue cuma bisa senyum-senyum nggak jelas, sambil berjalan perlahan menuju meja gue.

"Ndy ... gila lo." Dina setengah berbisik ketika gue mendaratkan diri di kursi.

"Kenapa? Jelek, ya?" Gue menyentuh ujung rambut gue.

"Nggak, nggak." Heri ikut-ikutan datang ke meja gue seraya menatap gue takjub. "Kayak bocah, sumpah. Kayak anak SMP."

"Sandy kenapa potong rambut?" Nada suara manja itu datang dari Mbak Rosa yang sekarang juga ikutan nongkrong di meja gue, diikuti dengan pandangan kepo para wanita macan di belakangnya.

Gue cuma tertawa nggak enak. "Cuma ... pengen ganti suasana aja." Tangan gue menyentuh ujung poni, sebelum memandang gugup. "Nggak kayak telor, 'kan?"

Tawa orang-orang disekitar gue meledak. Serius, ini yang beneran gue takutin. Gue emang ngide pengen motong rambut jadi bob, tapi karena takut muka gue jadi gendut, jadi rambutnya malah dipotong sampai atas bahu. Beum lagi poni rata ala-ala Korea yang gue potong dengan super ngide.

"Kalo rambutnya lo bleaching, mungkin beneran jadi telor, Ndy." Dina mendelik.

Heri malah ngakak. "Harusnya dari kemaren-kemaren lo potong gini, Ndy. Jadi enak ngeliat muka lo."

"Bukannya ... pacarnya Sandy nggak bolehin dia potong rambut?" Mbak Rosa berkata dengan nada persis kayak presenter acara gibah seleb, seolah mancing topik baru buat di-spill di kantor.

"Hehehe ... gue —"

"Single, free, lajang, yang mau silakan dideketin. Bukan produk kaleng-kaleng."

Perkataan gue malah dipotong sama Dina dengan suara yang semangat 45. Dan bener aja, semua orang saling bertatapan sebelum mengeluarkan respon yang berbeda-beda. Ada yang teriak, turut berduka cita, sampai bisik-bisik kecil yang gue yakin pasti bahas tentang umur gue dan desas-desus rencana pernikahan gue.

"Kalau gue tau lo bakal putus, harusnya gue nggak lamar si Karla, Ndy." Heri mendesah pelan, tepat satu detik sebelum gue pukul jidatnya pakai penggaris.

"Lo kira gue mau?" Gue mencebik.

Dina tertawa, sebelum menjitak kepala Heri. "Gue sunat lo kalo berani ngedeketin Sandy."

"Kan lo tadi bilang bebas siapa aja boleh deketin." Heri membela diri.

"Iya, siapa aja, kecuali lo."

Ruangan emang jadi rame banget sekarang, sibuk ngoceh sana-sini sampai akhirnya mahluk berkucir kuda dengan brewoknya yang membahana melangkah masuk. Semua mendadak diam, meja gue yang semula ramai, mulai ditinggalkan oleh para pengunjung.

Pak Danu melirik semua orang sekilas, kadang menganggul kalau ada yang menyapa. Tiba-tiba, langkahnya malah berhenti di depan meja gue, menaruh tas bekal lucu warna merah muda.

"Ibu saya yang bikin."

Dia cuma bicara kayak gitu, tapi bisik-bisik di seluruh ruangan langsung terdengar.

"Makasih, Pak. Buat kita, ya?" Heri, si biang kerok nggak ada malu di LifeUp bertanya tanpa tahu malu.

Ekspresi Pak Danu berubah bingung. "Saya nggak kasih kamu, kok. Ini buat Sandy."

Sekarang seisi ruangan jadi kicep lagi. Dina memandang gue tajam seolah menuntut penjelasan tentang apa yang terjadi. Gue yang emang nyatanya nggak tau apa-apa tentang kenapa si manusia goa ini tiba-tiba bertingkah kayak gini, mengalihkan pandang. Sialnya, malah eye contact sama Pak Danu yang sekarang ngeliatin gue serius banget.

RetrospeksiWhere stories live. Discover now