12 - Siapa Bilang Berpisah Itu Mudah?

208 55 6
                                    

"Nih, Nyet, minum dulu."

Gue memperhatikan gelas hijau muda yang di taruh oleh Dina di atas meja, sebelum gue merasakan air mata gue yang mulai menetes lagi.

"Aduh, Ndy ... lo kenapa, sih, nangis mulu? Gue harus ngapain lagi?" Dina menarik kursi di sebelah gue dan duduk di sana.

Gue nggak tau kenapa si kutil biawak ini bisa ada di rumah gue sekarang. Yang gue inget cuma gue diantar pulang sama Pak Danu, berjalan lemas ke kamar, terus melamun di depan pintu apartemen sambil nangis dan badan gue menggigil karena nggak ganti baju. Lalu, tiba-tiba aja si kutil biawak ini datang, mendorong tubuh gue ke kamar mandi.

Dina mencengkeram bahu gue pelan. "Ahelah, Ndy, ayolah. Kenapa mental lo jadi tempe gini, sih? Lo cuma putus, Ndy. Putus. Dunia belum kiamat."

"Tapi ... tapi ... itu gelasnya Adish, Din."

Gue sesegukan. Gue inget waktu Adish ngajakin ke Ikea. Ide kencan kita yang paling nggak jelas waktu itu, yang membuat kita berakhir dengan menyusun angan-angan seperti apa rumah kita berdua nanti. Menghayal buat punya peralatan dapur yang seragam warnanya, kursi meja makan dengan motif lucu, sampai pigura dengan warna yang soft dan imut-imut buat dipajang di ruang keluarga. Dan gelas itu, adalah satu dari sekian banyak barang absurd yang kita beli hari itu.

"Gue ... tau gue tempe banget sekarang. Tapi gue kangen banget sama Adish, Din."

Sekarang gue malah menangis di pelukan Dina. Rasanya pengin ngetawain diri sendiri, tapi gue juga nggak tega karena merasa betapa kasihannya diri gue ini.

"Ndy, udah, badan lo anget banget, Ndy, sekarang. Gue nggak tau apa jadinya kalau Pak Danu nggak bilang ke gue—"

Gue dorong tubuh Dina, memperhatikan wajahnya sesaat. "Pak Danu?"

Dina menghela napas sebelum mengangguk. "Dia bilang kalian hujan-hujanan tadi, dan nyuruh gue ke apartemen lo."

Sesaat, gue teringat apa aja yang gue dan Pak Danu lalui hari ini, dan betapa tidak profesionalnya gue. Apa Pak Danu sebenernya kasian sama gue, yang sakin galau dan tololnya sampai-sampai lupa kalau lagi bertugas bareng team leader.

"Tapi, Ndy, sumpah, lo kenapa?" Dina menatap gue sekali lagi. "Lo nggak akan nangis cuma gara-gara liat gelas Adish, Ndy. Lo tadi pagi masih bahagia-bahagia aja."

"Gue ketemu Adish ...." Jemari gue makin bertaut, mempermaikan satu sama lain. "Sama cewek."

Air muka Dina berubah, sebelum gue dengar helaan napas beratnya. "Gue memang berpikir Adish nggak mungkin mutusin lo kalau bukan karena—"

"Tapi kita tau kalau Adish bukan cowok berengsek, 'kan, Din?" Gue menyeka air mata gue sendiri. Menatap susu hangat yang dibuat Dina sekilas sebelum berpikir kalau susu hangat nggak akan cocok buat kondisi gue sekarang. Hati gue isinya sekarang udah melimpah ruah, pengen gue tumpahin sampai jadi tsunami dan gempa bumi biar besok-besok jiwa dan raga gue lebih tenang.

"Ndy, Adish itu manusia. Dia bisa berubah. Sekarang gue tanya, kalau lo dan Adish memang selalu baik-baik aja, kenapa dia minta pisah?"

Gue tatap mata Dina sebentar, sebelum menghela napas pelan. "Din, maafin gue. Tapi kayanya lo harus jadi babysitter gue sampai besok."

Dina memutar mata. Seolah paham dengan kode yang gue berikan, dia melangkah ke arah cabinet dapur dan mengambil harta karun kesayangan gue yang disimpan buat hari-hari khusus. "Jangan banyak-banyak, Ndy. Gue paling nggak suka ngelap muntah lo."

Gue tatap Dina yang sekarang sudah mengisi gelasnya dan gue, sebelum kita sama-sama mematung, menunggu waktu yang berjalan lambat, dan gerbang kecil di dalam sudut hati gue mulai terbuka. Tsunami itu beneran bentar lagi bakal datang.

"Gue nggak pernah mikir kalau Adish itu cowok berengsek, Din. Sumpah, gue beneran percaya kalau Adish cinta sama gue, dan gue nggak pernah merasa kekurangan hal itu. Dan kalaupun ada satu hari di mana gue merasa kalau kadar perasaan Adish berkurang, gue pikir itu bukan salah Adish. Itu salah gue, kepercayaan gue berkurang, gue yang tamak, gue yang pengen dia selalu ada buat gue. Gue yang—"

"Ndy, dasarnya cowok itu emang berengsek. Gue tau Adish gimana sama lo, tapi kalau memang dia masih Adish yang dulu, nggak mungkin dia mutusin lo begini aja, Ndy. Lupain aja, Ndy. Bener kata Adish, toh belum lebih dari dua belas tahun, kalian belum terlanjur nikah, putar baliknya nggak akan serumit itu." Dina menahan tangan gue yang sudah bergerak untuk menuangkan minuman gue sendiri. "Lo cuma terlalu sayang sama Adish yang dulu, Ndy. Tapi semua orang bisa berubah."

"Justru karena itu. Karena dia Adish yang udah ada dari dulu, gue ... sama sekali ...."

Sial. Gue nangis lagi. Haruskah gue minum pertalite aja biar kepala gue makin berkunang-kunang dan nggak nangis kayak orang gila gini lagi?

Gue nggak kepikiran hal lain selain mengisi penuh gelas gue, minum kayak orang bego, lalu ngoceh ngalor-ngidul yang nggak jelas ke mana juntrungannya.

"Kalo bukan sama Adish, gue nggak akan mau jadian dua belas tahun. Gue udah dua puluh delapan tahun, Din. Dua puluh delapan. Hampir setengah hidup gue bareng sama Adish. Apa-apa sama Adish. Gue enggak pernah kepikiran gimana masa depan gue kalau nggak ada Adish. Dan yang bikin gue jadi orang kayak sekarang juga Adish.

"Lo pikir gimana caranya gue masih bisa bertahan sampe sekarang kalau bukan karena Adish? Bisa jadi Sandy yang kayak gini, yang bisa lulus kuliah, yang bisa nenangin kondisi orang tua gue, yang bisa keluar dari lingkungan tolol ... gimana caranya gue bisa jadi Sandy kalau nggak ada Adish?"

Dina bergerak buat meluk gue. "Bangsat emang Adish. Bajingan. Tai. Awas aja kalau dia ketemu gue."

"Gue dua puluh delapan tahun, Din." Gue malah menangis makin keras. "Gue mau ngomong apa ke ibu sama bapak? Mau ngomong Adish nggak jadi nikahin gue? Mau ngomong Adish yang nggak ngerasa kalau gue cocok jadi istri dia? Gue mau ngomong apa?

"Gue salah apa? Gue beneran sayang sama dia, Din. Gue seyakin itu sama dia, gue percaya banget sama dia. Tapi kurang gue apa lagi, Din? Kurang gue apa? Apapun yang dia mau, gue kasih. Gue kasih semuanya, tapi kenapa malah pisah kayak gini."

Dina mendorong badan gue, menunjuk-nunjuk dahi gue beberapa kali. "Kita nggak butuh laki-laki, Ndy. Laki-laki semuanya bangsat."

Gue mengangguk.

Dina menunjuk dahi gue sekali lagi. "Laki-laki apa?"

"BANGSAT!"

"Sekali lagi, Sandy. Kurang keras!"

"ADISH BANGSAAAAATTT!"

Sejenak, kita berdua bertatapan, memperhatikan wajah yang sama-sama merah, sebelum gedoran kuat di pintu apartemen gue terdengar. Pasti anak tetangga kebangun gara-gara kita barusan.

Suara gue masih sengau, dan pasti mata gue sekarang tinggal sebaris.

"Lo nikah sama gue aja, ya, Din? Kita nikah aja, ya? Gue udah nggak kuat lagi kalau harus diceramahin tetangga. Gue nggak mau dikatain lumutan jamuran gara-gara nggak nikah-nikah."

"Iya, tahun depan kita ke Bali. Kita nikah di laut."

Gue tertawa, sebelum merasakan otak gue makin nggak sinkron dengan badan dan pandangan gue mengabur.

***

RetrospeksiWhere stories live. Discover now