'Empat belas'

4 1 1
                                    

Ku kedipkan mataku tiga kali. Kepala ku sangat pusing. Aku memijat keningku pelan dan berusaha untuk bangun dari ranjang kamarku. Loh, bukan, ini bukan kamarku. Ini seperti..

ruang psikolog. Ternyata aku kembali lagi ke tempat ini setelah 3 tahun lebih aku tidak ke ruangan yang terdapat di salah satu rumah sakit.

"Hai, Ella. Apa kabar? Sudah hampir 3 tahun lebih kamu tidak pernah menjalani terapi kembali." Ini teman tante Mia. Namanya Victor. Aku memanggilnya Om Victor.

"Kabarku baik." Om Victor sekarang terlihat lebih gagah dari yang dahulu.

"Bagaimana kondisi mu sekarang?" Om Victor memegang lenganku lalu menyuruh salah satu perawat disitu yang membawakan segelas air putih hangat untukku.
"Kamu masih suka mendengar bisikan-bisikan seperti itu ya?"

Aku mengangguk. Seketika, aku hanya bisa melamun, aku tidak dengar apa yang Om Victor tanyakan padaku karena pikiranku masih terbayang suara bisikan jahat.

"Mulai saat ini kamu harus rajin terapi lagi, Ella."

"A-aku sudah sembuh kok. Aku baik-baik saja."

"Ya, fisikmu baik-baik saja, tapi tidak dengan batin dan jiwamu. Kondisimu sekarang lumayan paran, El."

"Akan ku usahakan sesering mungkin menjalani terapi."

"Baguslah. Ini..untukmu." Ok Victor memberiku satu bungkus white chocolate kesukaan ku sejak kecil. Sebenarnya, aku juga suka brown dan dark chocolate, tapi aku lebih suka white chocolate.

"Terima kasih, om."

"Oh ya, tante mu ada di depan bersama Daniel. Dia menunggu mu selama 4 jam lebih disini." Ya ampun, tante Mia dan kak Daniel pasti sangat mengkhawatirkanku.
"Resep obat dan jadwal terapi sudah aku titipkan pada Mia."

Aku yang tadinya ingin berlari keluar dari ruangan psikolog ini, tapi om Victor menahanku.

"Kamu baru saja sadar, pandanganmu juga pasti masih kabur. Tidak perlu terburu-buru." Memang benar. Pandanganku masih kabur dan kepalaku masih sedikit pusing. Om Victor menuntun ku berjalan, sedikit membantu. Lalu om Victor membuka kan pintu ruang psikolog. Aku keluar. Ku lihat tante Mia sedang tertidur di pundak seseorang, dan kak Daniel sedang mendengarkan musik. Kak Daniel menengok ke arahku.

"Akhirnya, lu sadar. Gimana, El? Masih pusing ya?" Sekarang gantian kak Daniel yang menuntunku berjalan untuk duduk di sebelahnya.

"Aku mau pulang, kak. Aku tidak ingin kesini lagi." Aku tidak suka tempat ini. Walaupun tempat ini bisa membantu ku mengurangi rasa ketakutanku yang berlebihan, tetap saja aku tidak suka. Aku tidak ingin menjadi orang yang dibilang 'penyakit jiwa' karena ulahku yang aneh.

"Iya iya. Kita pulang ya." Kak Daniel merangkulku dan memegang tanganku erat. Aku sangat sayang pada kak Daniel. Dia baik sekali., dia sangat perhatian.

"Tapi kasihan tante Mia." Ucapku sambil melihat tante Mia yang masih pulas tertidur di bahu lelaki, entah siapa aku tidak tahu.
"Itu siapa?" Tanya ku sambil berbisik-bisik lada kak Daniel.

"Calon suaminya." Aku kaget. Paras wajah calon suami tante Mia lebih tampan dari yang ku bayangkan.
"Kak Rio, ayo."

"Kakak lu gimana?"

"Gendong aja." Iya bagus, keluar dari ruangan psikolog aku langsung disambut oleh kemesraan saudaraku. Aku kapan?

**

Pagi sudah tiba. Tidak ada yang berubah. Masih sama, lampu masih menyala, gorden tertutup. Aku mendengar suara orang yang sedang memasak di bawah, siapa lagi kalau bukan tante Mia. Aku segera turun ke bawah.

KALANELLAWhere stories live. Discover now