Limerence : After You 4

104 15 24
                                    

"Pindahin Nanda ke kamar inap biasa."

Rian tercenung. Tangan nya terhenti membalik data pasien, mata nya melotot, menatap Gilang tidak percaya. "Hah?"

"Nggak ada tanda-tanda penolakan di jantung nya, organ tubuh nya masih cukup stabil, tanda vital juga udah lebih baik. Nggak ada guna nya lagi Nanda di sana, dia udah nggak butuh alat bantu pernapasan." Gilang menjelaskan. Dia menatap data medis Nanda di layar komputer, wajah nya datar tanpa emosi.

Rian yang berdiri di samping nya lah yang panas dingin. "Nanda pasien gue. Lo nggak boleh nyuruh-nyuruh gue seenak nya. Sebelum gue sendiri yang bilang kalau pasien gue baik-baik aja, dia nggak bakal pindah dari ruangan itu."

"Nanda istri gue." Gilang menoleh. "Terlebih gue juga dokter. Gue bilang gini sebagai rekan kerja lo. Nanda udah nggak apa-apa. Nggak ada masalah sejak sebulan lalu. Nanda oke, tinggal tunggu dia sadar aja."

Rian yang dokter penanggung jawab atas Nanda melongo. Sudah menjadi peraturan rumah sakit kalau dokter tidak diperbolehkan menjadi dokter penanggung jawab keluarga nya, banyak yang mengatakan untuk menghindari kesalahan pemberian obat atas perasaan pribadi.

Sekarang, Rian lah yang melakukan nya. Dia merawat Nanda terlalu berlebihan, memberikan ruangan dan peralatan terbaik untuk istri teman nya. Seolah itu belum cukup, Rian berencana memasukkan Nanda dalam daftar pasien darurat yang memerlukan pengobatan di luar negeri.

"Lo nggak bisa sembarangan kayak gini. Cuman modal liat data lewat komputer apa guna? Kalau lo nggak pernah masuk ke ruangan nya, mending diam aja." Cetus Rian jengkel. Dia menutup data pasien lalu menyerahkan pada perawat di depan nya.

Gilang melakukan hal yang sama, dia menutup tab data medis Nanda sebelum memfokuskan pandangan pada Rian. "Gue udah pernah ke ruangan nya. Semua stabil, gue juga udah nyoba lepas alat bantu pernapasan nya. Nggak ada masalah."

Rian melongo. "Sejak kapan?"

"Minggu lalu." Gilang mendekat. "Lo nggak marahin gue waktu gue bilang udah lepas alat bantu nya? udah tau lo kalau kondisi Nanda baik? Lo tau dan tetap ngurung dia disana?"

Rian tergagap. "Itu buat kondisi darurat aja. Kalau gue lepas tiba-tiba, kita nggak tau kalau jantung Nanda bakal menolak nanti."

"Lo tinggal mantau lewat monitor. Apa susah nya sih? Lusa harus di pindah. Gue nggak mau dengar alasan basi lain." Gilang berjalan meninggalkan Rian, tangan nya melambai tanpa berbalik. "Jagain UGD sebentar. Gue mau jenguk istri tercinta gue dulu."

Rian mendengus. "Mentang-mentang punya istri, waktu nya kerja malah meleng."

"Kalau iri bilang." Gilang menoleh, masih sambil berjalan. Dia tersenyum usil. "Cari istri maka nya, biar tau rasa nya meleng buat sang tercinta."

"Jijik bego!" Rian tertiak tertahan. Perawat yang mendengar percakapan absurd mereka tertawa tertahan. Haru dan Keanu yang berjaga di UGD ngakak, melampiaskan stres dengan menertawakan keperjakaan Rian yang tidak kunjung hilang. Padahal usia laki-laki itu hampir 40 tahun.

Rian mendelik. Dia menatap mereka tajam. "Apa lo ketawa-ketawa?! Diem lo, Nu! Mau gue sunat, hah?!"

Keanu kicep. Haru malah semakin tertawa keras.

Gilang memasuki ruangan Nanda, duduk di pinggir ranjang dengan sewadah air bersih dan handuk kecil di hadapan nya. Gilang ingin membersihkan tubuh Nanda, hanya bagian tangan dan kaki. Sekaligus ingin melihat bekas operasi di dada nya.

Menghela napas, Gilang mengamit tangan Nanda. Memijat nya pelan. "Aku ke Solo sabtu depan."

"Agak lama. Sekitar 4 hari-an. Ada saudara ayah yang menikah. Pengin nya aku nggak ikut, tapi ibu maksa. Bilang kalau nggak mungkin ibu kesana bareng Vero, alasan kendaraan buat kesana nggak ada juga. Kamu tau kan kalau Vero nggak kuat naik motor jarak jauh? Dia juga nggak bisa bawa mobil. Maka nya aku di suruh ikut, Landia juga."

Limerene : After You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang