Limerence : After You 3

145 14 66
                                    

Aku suka baca komenan kamu kak 4racatika, mau aku balas tapi udah keburu ngetik chapter 3. sumpah, bisa banget gitu buat aku semangat. Aku langsung ngetik begitu baca komentar kamu, terus selesai jam setengah sebelas malam. Tapi nggak fair banget kalau aku up sehari 2x.

mungkin beberapa pembaca cuman anggap satu komentar itu nggak terlalu berarti, tapi buat kita -para pejuang ketik yang rela nulis seharian suntuk buat kalian- dapat satu komentar itu udah berarti banget! apalagi dapat spam komen. ya ampun! rasa nya tuh kayak jadi iron man! luar biasa banget!

jadi, jangan capek semangatin nya ya? Buat yang baca juga, walau aku nggak yakin ini ada yang baca atau enggak. jangan lupa kasih komentar buat aku. arigatou^^

***

Gilang memandikan Landia, sesekali bermain bebek kuning beserta anak-anak nya yang terapung di air. Senyum nya tak memudar kala mendengar suara tawa Landia. Iseng, Gilang menepuk telapak tangan nya ke air, menimbulkan cipratan yang mengenai wajah anak nya. Bukan nya merengek menahan tangis, tawa Landia malah semakin kencang.

"Anak ayah senang banget ya?"

Landia menoleh, mata nya yang berbinar memancarkan kebahagiaan. "Kata bunda, nggak boleh sedih-sedih. Nanti ayah juga ikut sedih, terus bunda malah marahin Lan."

Wajah Gilang datar, tidak menyangka dengan jawaban Landia. "Kapan... bunda bilang gitu ke kamu?"

"Kemarin. Lewat mimpi." Landia menjawab ringan, dia kembali bermain air. "Karena kemarin Lan nangis minta ketemu bunda, eh malam nya bunda temuin aku. Bilang kalau Lan nggak boleh nangis lagi, nanti ayah ikutan sedih."

"Bunda bilang gitu?"

Landia mengangguk. "Tau nggak, yah? Malam nya itu Lan ke kamar ayah, niat Lan mau minta maaf karena udah nangis depan ayah. Tapi ayah kunci pintu kamar, nenek bilang Lan nggak boleh ganggu dulu."

Ah... semalam ya? Semalam Gilang merokok, ditemani dengan sekaleng bir yang dia selundupkan diam-diam ke kamar nya. Duduk di tepi balkon tanpa banyak bicara, menikmati udara malam dengan air yang mengalir di pipi. Bukan hanya Landia yang merindukan bunda nya, Gilang juga demikian.

"Ayah capek banget semalam, maka nya ayah kunci pintu." Gilang mengelus rambut Landia, merasa bersalah. "Maafin ayah ya?"

Landia mengangguk. Dia berhenti bermain air, menunduk lesu. "Ayah... semalam nangis karena Lan juga nangis ya?"

"Ayah nggak nangis kok."

Landia mendongak. "Lan janji, Lan nggak bakal nangis lagi. Jadi, ayah juga jangan nangis ya?"

Astaga. Umur nya bahkan masih 5 tahun. Landia sudah dewasa di umur nya yang masih tergolong bocah. Bukan nya merasa bangga, Gilang malah khawatir. Tidak seharusnya Landia bersikap begini, tidak seharusnya anak berusia 5 tahun sudah mampu menahan diri, tidak seharusnya Landia bersikap seolah dia baik-baik saja.

Tidak berbincang dengan bunda nya selama beberapa bulan terakhir seharusnya cukup membuat Landia merengek lalu menangis seharian saking rindu. Perilaku Landia tidak normal. Mana Landia yang dulu selalu tidur membelakangi Gilang karena laki-laki dewasa itu lupa membelikan nya coklat batangan? Mana Landia yang dulu selalu menelepon Gilang sambil meraung karena ingin bertemu?

Gilang mengeluarkan Landia dari air, menyelimuti tubuh anak nya dengan handuk kecil. Gilang berjongkok, memegang pundak Landia. "Ayah nggak keberatan kalau Landia nangis. Landia nggak perlu menahan diri kok, apapun yang Landia pikirin, keluarin aja semua. Jangan di tahan ya, nak?"

"Kalau Lan nangis, semua orang juga ikut sedih. Lan nggak apa-apa kok, yah... Lan kan iron man! Harusnya kuat. Nggak boleh bikin orang sedih cuman karena Lan." Landia menepuk lengan Gilang. "Lan nggak apa-apa."

Limerene : After You (END)Where stories live. Discover now